Kamis, 22 Juni 2017

Orange in Sydney (The end)



ilustrasi
                Masih berbalut gaun warna jingga, Sonia berdiri dibalik balcon menghadap ke pantai yang penuh dengan dermaga pribadi di setiap rumah-rumah di Milsons Point. Ia bermimpi
bisa tinggal di daerah itu dengan segala fasilitasnya. Pergi kemana pun yang ia suka dengan boat tanpa sesuai jadwal di satu dermaga dan dermaga lainnya. Senyumnya mengembang tanpa sadar, David memperhatikannya. Kemudian David menghampiri Sonia dan mengajaknya berdansa meski sebenarnya Sonia tak mampu berdansa. Di sebuah ruangan yang luas dengan banyak jendela kaca, mereka berdansa tanpa suara yang bersuara hanya detak jantung Sonia yang semakin kencang.
                Sonia ragu apa yang sedang mereka lakukan, masih banyak pertanyaan yang tersimpan didalam benaknya. Tentu ia tidak mengenal siapa David sebenarnya. Kali ini dia semakin dekat dan ini waktu yang tepat untuk bertanya hal itu. Sonia menghentikan gerakannya dan melepas tangannya dari genggaman David.
                “Aku bahagia mengenalmu karena telah membuat salah satu mimpiku tercapai, tetapi aku tidak mengenalmu secara pasti,” ucap Sonia lirih sembari menatap mata David.
                David menyentuh pipi Sonia dengan kedua tangannya namun Sonia berpaling. David menarik nafas dalam dan berjalan menuju balcon. “Aku yang memiliki penerbit yang menolak Novelmu,” jawab David singkat.
                “Apa?” Sonia sulit mengeluarkan kata-kata lagi karena tidak tahu apa maksud dari semua ini.
                “David menghadap ke Sonia dan meraih tangan Sonia yang mulai dingin kemudian melanjutkan, “Novelmu layak terbit sebenarnya meski tidak semua, tapi temanku bernegoisasi denganku untuk membawa novelmu ke Australia,”
                Sonia mulai menitikkan air mata. “Siapa temanmu yang berhak atas itu, tentu aku akan lebih bangga jika novelku dinikmati di negaraku sendiri. Drama apa ini?” teriak Sonia kemudian berusaha pergi.
                “Sonia dengarkan penjelasanku dahulu.” Berhenti sejenak. “Hendrik. Dia yang menceritakan semuanya tentang mimpimu, aku bahkan tidak tahu siapa kamu tetapi dia teman baikku. Jika dia butuh bantuan aku berusaha untuk membantunya. Dia ingin kamu mewujudkan mimpimu untuk ke Sydney karena ia ingin membayar persahabatan kalian selama ini karena yang aku tahu kau tidak akan menemuinya lagi setelah ini.”
                “Hendrik? Ada apa dengan dia, David ceritakan!” masih dengan isak tangis.
                David mendekati Sonia dan mencoba menenangkannya. “Dia sakit Septicemia, dokter memperkirakan usianya satu bulan lagi sejak ia menelphonemu ketika kau di Indonesia. Tetapi kenyataannya ia masih bisa bertahan sampai sekarang dan itu yang Hendrik bisa lakukan untukmu, Sonia” jelas David.
                Sonia menangis tersedu-sedu kemudian David memeluknya dan membelai rambutnya. Beberapa menit kemudian seorang laki-laki berbalut jaket tebal menghampiri mereka. Sonia melihat seperti tidak asing lagi. “Hendrik!” teriak Sonia sambil melepaskan pelukannya dari David. Ia berlari kearah Hendrik dan memeluknya. Wajahnya pucat dan tubuhnya sangat dingin, Sonia memeluknya erat sambil menangis. “Kamu benar-benar orang yang paling bodoh setahuku Hendrik.” Hendrik hanya tersenyum dan membalas pelukan Sonia. Kemudian ia berkata, “Aku akan bodoh jika aku membiarkanmu menangis begini. Aku senang bisa menemuimu lagi, jadilah yang paling orange didunia ini. Petualanganmu dan optimismemu jangan sampai ada yang mengalahkan. Ingat itu.” Kaki Hendrik mulai lemas hingga terduduk dilantai dan Sonia menahan tubuh Hendrik. Hendrik menutup mata selamanya.
                Sonia tidak keluar dari apartmentnya, rasanya ia malas untuk beranjak dari tempat tidurnya setelah kepergian Hendrik masih menyisakan luka. Secara kontrak, waktunya masih lima bulan lagi di Sydney, ia telah menyelesaikan novel yang dipesan oleh David dan hanya tinggal menunggu proses penerjemahan. Rasanya ia ingin segera pulang ke Indonesia secepatnya.
                David menelephone Sonia ingin mengajaknya ke suatu tempat dan Sonia menyetujui karena ia ingin menyelesaikan kontraknya secepatnya. Mereka telah berada di Milsons Point, kawasan dollar view. David menuntun Sonia menuju di sebuah rumah mewah yang terdapat dermaga dan boat. Itu semua milik David. David menatap Sonia dan berkata, “Aku tidak menemukan jalan keluar di bola matamu Sonia, aku terlalu indah disana. I think I love you,” Sonia terkejut dan menatap David dengan perasaan penuh dilema. Ia ingin segera pergi dari Sydney tetapi yang terjadi adalah sebuah rasa yang terungkap. Sonia tak mampu membohongi perasaannya terhadap David, cintanya sebuah paket kekesalan dan air mata. Ia tak mampu menolak pangeran misterius itu.
                “Aku tidak lagi menjadi misterius. Untuk itu, aku minta kau perpanjang kontrakmu denganku selama sisa hidupku Sonia,” pinta Sonia. Sonia pun tersenyum mengatakan bahwa ia setuju dengan permintaan itu. Kali ini ia benar-benar menjadi Cinderella di dunia nyata, dia telah mengupdate dongengnya.
                David meraih tangan Sonia dan mencium kedua tangannya. Sonia hanya mampu tersenyum, ternyata mimpi bukan selamanya untuk menjadi mimpi. Ada kalanya sebuah mimpi benar-benar terjadi seperti yang telah diskenariokan oleh pikirannya. Ia memeluk David dengan sangat erat dan berharap ini bukan hanya mimpi.
                Tentang dongeng yang Sonia miliki menjelma nyata. Meski ia seperti Cinderella setidaknya ia sangat optimis menjalani hari-harinya di Sydney. Tak takut akan segala rintangan, ia akan menjadi yang paling orange nomor dua setelah senja. Tak mau terkalahan oleh kecemasannya, takdir datang memilihnya dan ia memutuskan untuk menempuh dengan segala risikonya. Akan lebih mudah atau rumit kehidupannya nanti, Sonia tak peduli, yang ia tau warnanya membawa dampak bagi kehidupan yang dipilihnya. Ia telah mengenal sebuah kata bernama risiko.
~END_SELESAI~

Tidak ada komentar: