ilustrasi |
Masih
berbalut gaun warna jingga, Sonia berdiri dibalik balcon menghadap ke pantai
yang penuh dengan dermaga pribadi di setiap rumah-rumah di Milsons Point. Ia
bermimpi
bisa tinggal di daerah itu dengan segala fasilitasnya. Pergi kemana
pun yang ia suka dengan boat tanpa sesuai jadwal di satu dermaga dan dermaga
lainnya. Senyumnya mengembang tanpa sadar, David memperhatikannya. Kemudian
David menghampiri Sonia dan mengajaknya berdansa meski sebenarnya Sonia tak
mampu berdansa. Di sebuah ruangan yang luas dengan banyak jendela kaca, mereka
berdansa tanpa suara yang bersuara hanya detak jantung Sonia yang semakin
kencang.
Sonia
ragu apa yang sedang mereka lakukan, masih banyak pertanyaan yang tersimpan
didalam benaknya. Tentu ia tidak mengenal siapa David sebenarnya. Kali ini dia
semakin dekat dan ini waktu yang tepat untuk bertanya hal itu. Sonia
menghentikan gerakannya dan melepas tangannya dari genggaman David.
“Aku
bahagia mengenalmu karena telah membuat salah satu mimpiku tercapai, tetapi aku
tidak mengenalmu secara pasti,” ucap Sonia lirih sembari menatap mata David.
David
menyentuh pipi Sonia dengan kedua tangannya namun Sonia berpaling. David
menarik nafas dalam dan berjalan menuju balcon. “Aku yang memiliki penerbit
yang menolak Novelmu,” jawab David singkat.
“Apa?”
Sonia sulit mengeluarkan kata-kata lagi karena tidak tahu apa maksud dari semua
ini.
“David
menghadap ke Sonia dan meraih tangan Sonia yang mulai dingin kemudian
melanjutkan, “Novelmu layak terbit sebenarnya meski tidak semua, tapi temanku
bernegoisasi denganku untuk membawa novelmu ke Australia,”
Sonia
mulai menitikkan air mata. “Siapa temanmu yang berhak atas itu, tentu aku akan
lebih bangga jika novelku dinikmati di negaraku sendiri. Drama apa ini?” teriak
Sonia kemudian berusaha pergi.
“Sonia
dengarkan penjelasanku dahulu.” Berhenti sejenak. “Hendrik. Dia yang
menceritakan semuanya tentang mimpimu, aku bahkan tidak tahu siapa kamu tetapi
dia teman baikku. Jika dia butuh bantuan aku berusaha untuk membantunya. Dia
ingin kamu mewujudkan mimpimu untuk ke Sydney karena ia ingin membayar
persahabatan kalian selama ini karena yang aku tahu kau tidak akan menemuinya
lagi setelah ini.”
“Hendrik?
Ada apa dengan dia, David ceritakan!” masih dengan isak tangis.
David
mendekati Sonia dan mencoba menenangkannya. “Dia sakit Septicemia, dokter
memperkirakan usianya satu bulan lagi sejak ia menelphonemu ketika kau di
Indonesia. Tetapi kenyataannya ia masih bisa bertahan sampai sekarang dan itu
yang Hendrik bisa lakukan untukmu, Sonia” jelas David.
Sonia
menangis tersedu-sedu kemudian David memeluknya dan membelai rambutnya.
Beberapa menit kemudian seorang laki-laki berbalut jaket tebal menghampiri
mereka. Sonia melihat seperti tidak asing lagi. “Hendrik!” teriak Sonia sambil
melepaskan pelukannya dari David. Ia berlari kearah Hendrik dan memeluknya.
Wajahnya pucat dan tubuhnya sangat dingin, Sonia memeluknya erat sambil
menangis. “Kamu benar-benar orang yang paling bodoh setahuku Hendrik.” Hendrik
hanya tersenyum dan membalas pelukan Sonia. Kemudian ia berkata, “Aku akan
bodoh jika aku membiarkanmu menangis begini. Aku senang bisa menemuimu lagi,
jadilah yang paling orange didunia ini. Petualanganmu dan optimismemu jangan
sampai ada yang mengalahkan. Ingat itu.” Kaki Hendrik mulai lemas hingga
terduduk dilantai dan Sonia menahan tubuh Hendrik. Hendrik menutup mata
selamanya.
Sonia
tidak keluar dari apartmentnya, rasanya ia malas untuk beranjak dari tempat
tidurnya setelah kepergian Hendrik masih menyisakan luka. Secara kontrak,
waktunya masih lima bulan lagi di Sydney, ia telah menyelesaikan novel yang
dipesan oleh David dan hanya tinggal menunggu proses penerjemahan. Rasanya ia
ingin segera pulang ke Indonesia secepatnya.
David
menelephone Sonia ingin mengajaknya ke suatu tempat dan Sonia menyetujui karena
ia ingin menyelesaikan kontraknya secepatnya. Mereka telah berada di Milsons
Point, kawasan dollar view. David
menuntun Sonia menuju di sebuah rumah mewah yang terdapat dermaga dan boat. Itu
semua milik David. David menatap Sonia dan berkata, “Aku tidak menemukan jalan
keluar di bola matamu Sonia, aku terlalu indah disana. I think I love you,”
Sonia terkejut dan menatap David dengan perasaan penuh dilema. Ia ingin segera
pergi dari Sydney tetapi yang terjadi adalah sebuah rasa yang terungkap. Sonia
tak mampu membohongi perasaannya terhadap David, cintanya sebuah paket
kekesalan dan air mata. Ia tak mampu menolak pangeran misterius itu.
“Aku
tidak lagi menjadi misterius. Untuk itu, aku minta kau perpanjang kontrakmu
denganku selama sisa hidupku Sonia,” pinta Sonia. Sonia pun tersenyum
mengatakan bahwa ia setuju dengan permintaan itu. Kali ini ia benar-benar
menjadi Cinderella di dunia nyata, dia telah mengupdate dongengnya.
David
meraih tangan Sonia dan mencium kedua tangannya. Sonia hanya mampu tersenyum, ternyata
mimpi bukan selamanya untuk menjadi mimpi. Ada kalanya sebuah mimpi benar-benar
terjadi seperti yang telah diskenariokan oleh pikirannya. Ia memeluk David
dengan sangat erat dan berharap ini bukan hanya mimpi.
Tentang
dongeng yang Sonia miliki menjelma nyata. Meski ia seperti Cinderella
setidaknya ia sangat optimis menjalani hari-harinya di Sydney. Tak takut akan
segala rintangan, ia akan menjadi yang paling orange nomor dua setelah senja.
Tak mau terkalahan oleh kecemasannya, takdir datang memilihnya dan ia
memutuskan untuk menempuh dengan segala risikonya. Akan lebih mudah atau rumit
kehidupannya nanti, Sonia tak peduli, yang ia tau warnanya membawa dampak bagi
kehidupan yang dipilihnya. Ia telah mengenal sebuah kata bernama risiko.
~END_SELESAI~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar