Sebuah
cerita fiktif tentang seorang wanita pecandu yang berharap hidupnya bisa
berubah dan lebih bahagia dengan seorang laki-laki yang dipilihnya. Harapan
yang tidak akan menjadi kenyataan saat ia mendapati lelaki itu
bersama seorang
gadis yang katanya hidupnya lebih menderita dari wanita pecandu itu. Nasehat
seorang sahabat wanita pecandu itulah yang menjadi jalan keluarnya dan memilih
jalan menuju kebahagiaan.
Berbalut
jaket warna hitam milik seorang laki-laki, sebut saja Dylan, Sophia dengan
perasaan bahagia berjalan menuju sebuah rumah, tempat ia pernah mendapat
kecupan di keningnya oleh seorang lelaki, yakni Dylan. Kecupan itu rasanya
belum kering meski sudah 48 jam yang lalu. Sebab itulah, langkahnya begitu meyakinkan
saat menyusuri jalan. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya, langkahnya tak pasti,
ia tak tahu siapa sebenarnya yang akan dia tuju, niatpun sebenarnya tak punya
hanya modal nekat sehingga ia sampai pada sebuah rumah. Hari itu, ia berharap
segala sesuatu yang terjadi padanya akan berubah. Ia berharap tidak lagi
menjadi pecandu. Bukan candu akan obat-obatan ataupun alkohol, dia seorang
candu pada sebuah obsesi. Obsesi itu, hanya dia yang tahu dan bagaimana harus
menjelaskan. Karena obsesi itu Sophia merasa menjadi orang yang tidak pernah
bahagia.
Matahari
mulai menyengat kulitnya menembusi pori-pori jaket yang ia kenakan. Ia menambah
tempo berjalannya karena takut aroma matahari akan menghilangkan aroma keringat
Dylan yang menempel di jaket itu. Aroma yang membuatnya selalu merindukan
Dylan. Rindu akan kehangatan yang pernah Sophia dapatkan dari Dylan dan mungkin
kali ini dia akan mendapatkan lebih darinya sehingga ia tidak menjadi candu
lagi.
Dengan
senyum yang merekah dibibirnya, Sophia membuka pintu gerbang yang tidak
terkunci berharap pintu utama juga tidak terkunci. Ia mulai meraih gagang pintu
dan menggerakkan ke bawah sambil mendorongnya. Benar, pintu tidak terkunci. Tak
ada siapapun di dalam rumah, barangkali Dylan masih tertidur dikamarnya. Sophia
menuju kearah kamar Dylan sambil berlari kecil menunjukkan bahwa hatinya sedang
sangat bahagia.
Ia
mengetuk pintu kamar Dylan tiga kali. Ia tidak bermaksud menunggu Dylan membukakan
pintunya. Satu detik setelah mengetuk pintu, Sophia membuka pintu kamarnya yang
ternyata tidak terkunci. Saat pintu terbuka, ia mendapati seorang laki-laki
siapa lagi jika bukan Dylan, tidur disamping seorang wanita dengan keadaan
setengah telanjang.
Dylan
membuka matanya dan tampak terkejut melihat Sophia telah berdiri disamping
tempat tidurnya. Bagaimana dengan Sophia? Tentu ia lebih terkejut hingga ia tak
bisa menggerakkan kakinya atau mulutnya. Ingin lari tapi tak bisa atau hanya
sekedar untuk bertanya “dia siapa?” juga tak bisa. Dalam sebuah cerita pasti
tokoh Sophia akan dituliskan akan menangis dan pergi dari tempat itu. Tapi
tidak! Sophia hanya berdiri tanpa bisa mengalihkan pandangannya pada objek itu ataupun
menangis. Bendungan dimatanya masih cukup tinggi dan kuat untuk menghalangi air
matanya. Oh, Sophia yang malang.
Dylan
mulai berdiri perlahan karena takut wanita disampingnya akan terbangun,
kemudian ia menarik lembut tangan Sophia dan menuntunnya perlahan keluar dari
kamar dan menutup pintunya perlahan. Tepat berada didepan kamar Sophia justru
tidak menanyakan siapa wanita yang didalam, justru ia mengajak Dylan untuk
pergi ke pantai. Sophia yang malang dan bodoh. Dylan menuntun kembali Sophia
untuk menjauh dari kamar tetapi Sophia berteriak kecil yang justru membuat
Dylan tampak marah. Sophia mencoba untuk memeluk Dylan tapi kedua tangannya
menolak dan menepis tangan Sophia. Lagi-lagi Sophia bodoh meminta untuk pergi
ke pantai sore ini dengan wajah memelas.
“Ayo
kita pergi ke pantai sore ini dan aku akan mengembalikan jaket ini nanti sore,”
pinta Sophia.
“Apakah
kamu tidak tahu jalan menuju ke pantai sehingga harus bersamaku,?” jawab Dylan
sinis. Kali ini Sophia terkejut dengan apa yang diucapkan Dylan benar-benar
menyayat hati. Kemudian dia bertanya, “Apa kamu takut wanita itu akan bangun
dan akan marah padamu karena aku disini? Mungkin dua hari yang lalu saat kau
bersamaku sebenarnya kau sudah bersama dia juga,”
“Sungguh
aku tidak takut. Pergi dari rumahku,!” teriak Dylan.
Sophia
masih bersikukuh untuk tetap tinggal sampai Dylan mengatakan apa yang sedang
terjadi. Dylan tak mampu menahan kesabarannya lagi dan mendorong Sophia keluar
namun Sophia masih mampu menahan pintunya. Lagi-lagi Sophia didorong olehnya
dengan sangat kuat namun Sophia memasangkan kedua tangannya diantara gawang dan
pintu sehingga tidak mungkin Dylan akan menutup pintunya. Tapi karena tenaga
wanita bodoh yang mungil kalah dengan tanaga Dylan dengan perawakan yang cukup
tinggi dan besar, Sophia didorong lagi oleh Dylan sampai Sophia benar-benar
terjatuh. Dengan sisa-sisa tenaga, Sophia mencoba berdiri dan mengetuk pintu
lagi, tapi sial tak ada jawaban.
Sophia
memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan berjalan cepat sambil menutup
wajahnya. Benar saja, dia baru bisa menangis setelah diperlakukan seperti itu.
Wanita mana yang tidak menangis jika diperlakukan kasar seperti itu, mungkin
hanya wanita yang terbuat dari robot. Sophia mulai putus asa, dijalan ia masih
menangis dengan sangat keras jika kembali ingat apa yang telah terjadi. Dia tak
tahu lagi harus pergi kemana.
Hanya
ada satu orang yang pernah menjadi sahabat baiknya, namanya Aghna. Ia pernah
mencintai Sophia dengan sangat tulus tetapi Sophia justru menyakitinya. Bodoh
saja jika Sophia benar-benar akan pergi pada lelaki itu dan meminta tolong pada
orang yang pernah ia sakiti. Lagi pula, tidak akan pernah terjadi jika Sophia
memintanya kembali disaat lelaki pemilik hati yang tulus tengah menciptakan
cahaya baru cinta dihatinya bersama seorang wanita yang sangat ia cintai.
Benar
saja! Pikiran wanita itu melayang pada lelaki bernama Aghna. Berharap mendapat
kesempatan lagi dengannya. Tapi tetap saja bodoh, berjalan sambil menangis hingga
sampai pada sebuah rumah kemudian ia mencoba mengetuk pintu kamar Aghna. Tiga
kali ia mengetuk tak ada jawaban kemudian ia menelphone-nya. Dan akhirnya Aghna
membuka pintu sesaat kemudian Sophia langsung memeluknya sambil menangis
tersedu-sedu. Aghna tak mampu berkata apa-apa lagi karena sebenarnya ia telah
bosan menghadapi sifat Sophia, dan candunya terhadap sesuatu.
Aghna
membimbing Sophia untuk duduk dengan wajah yang datar. Sophia duduk di sebuah
kursi di depan kamar dan Aghna duduk di atas meja. Masih dalam kondisi menangis
Sophia meletakkan kedua tangannya dipangkuan Aghna dan mengubur wajahnya diatas
tangannya dengan isak tangis yang semakin kencang. Tak punya rasa sungkan atau
malu terhadap pria yang telah ia sakiti sekalipun ia terlihat sangat lemah.
Beberapa
saat setelah itu, Sophia mengangkat kepalanya dengan mengusap air mata yang
masih membanjiri pipinya. Ia memberanikan diri untuk menatap Aghna dan berkata,
“Apakah kau membenciku dan akan selalu membeciku,?” sambil terisak-isak.
“Apa
yang terjadi,?” balas Aghna dengan nada datar namun tegas. Hati lelaki itu
sebenarnya sangat lembut dan tulus tapi tidak mungkin lagi ia berikan pada
wanita candu dan bodoh itu.
“Maafkan
aku sekali lagi jika kamu benar-benar marah,” ucap Sophia sambil terisak-isak.
Ia berpikir seolah-olah dunianya akan hancur. Hey! Tapi tidak! Aghna
menunjukkan caranya.
“Apa
yang sebenarnya terjadi, mengapa kamu tidak seperti Sophia yang dulu,?” tanya
Aghna mulai bersimpati.
“Pagi
tadi aku membuka kamarnya, aku mendapati Dylan tidur bersama seorang wanita
hanya berbalut baju yang sangat minim,” Sophia berhenti dan mengusap air
matanya dengan lengan jaket yang masih ia gunakan. Sementara Aghna masuk
kedalam kamar untuk mengambil sesuatu. Tissue. Sial! Sophia menginginkan tangan
Aghna untuk mengusap air matanya. Kemudian ia melanjutkan, “Aku hanya mencoba
mengembalikan jaket ini tapi aku berubah pikiran dan ingin mengajaknya pergi ke
pantai. Tapi Dylan menuntunku keluar menjauh dari kamarnya. Semakin lama
semakin kasar, kemudian dia mendorongku dan aku terjatuh,” isak tangisnya masih
sangat kencang dan tidak tahu bagaimana harus menghentikan air matanya.
Jari-jarinya yang kecil mulai menyentuh tangan Aghna dan bertanya lagi, “Apa
yang harus aku lakukan? Ini kali pertama aku diperlakukan seperti itu. Aku
ingin dihormati!” teriak Sophia.
Aghna
mendengarkan itu seolah ia masih tidak percaya apa yang Dylan lakukan pada
Sophia. Bagaimanapun juga Sophia pernah mengisi hati Aghna. “Sophia, aku ingin
bertanya. Apa yang terjadi antara kamu dengan Dylan dua hari lalu,?”. Sophia
membalas tanpa berpikir panjang, “Ya, apa yang Dylan ceritakan padamu itu semua
benar,”. “Sophia, lihat! Jika kamu yang memulai itu adalah salahmu. Dylan
cerita padaku bahwa ia tidak menganggapmu apa-apa, dia memiliki seorang wanita
meski aku tahu dia tidak begitu mencintai tapi dia memiliki perasaan lebih
untuk wanita itu dari apa yang pernah terjadi antara kamu dan dia,” Aghna mulai
memperdulikan gadis malang itu.
“Jadi
apa yang harus kulakukan? Aku ingin balas dendam ke dia karena telah
memperlakukanku sangat buruk,!” tanya Sophia sambil menutup matanya. “Sophia
dengar! Jujur aku ingin membantumu sebenarnya tapi kamu selalu tidak
konsisten,” balas Aghna sambil menghadapkan tubuhnya kearah Sophia. “Tolong
bantu aku, aku mohon aku harus bagaimana, Aghna?” pinta Sophia penuh harap.
“Tapi kamu harus berjanji padaku sesuatu,” pinta Aghna. Baiklah! Sophia
menyetujui permintaan Aghna yaitu menghapus semua kontak dan kenangan mereka
dan semua laki-laki yang telah menyakiti Sophia.
“Kamu
harus janji padaku dan dirimu sendiri bahwa kamu akan berubah. Yang pertama berdoalah
dimanapun kamu suka. Sophia kamu pasti bisa. Jika kamu tidak ingin dianggap
rendah oleh Dylan sebaiknya kamu mulai menata hidupmu yang baru lagi. Dengarkan
aku! Apa yang kamu inginkan barangkali bukan apa yang kamu butuhkan begitu
sebaliknya apa yang sebenarnya tidak kamu inginkan, itu adalah kebutuhanmu.
Janjilah padaku Sophia untuk berubah dan aku berjanji akan menjadi saudaramu
meski kita jauh. Aku akan selalu mendoakanmu, aku akan bangga padamu suatu saat
nanti bahwa aku pernah memilikimu,” petuah Aghna yang barangkali tidak disangka
oleh Sophia. Umur memang tidak menjamin kematangan emosional seseorang, hal itu
Sophia buktikan dengan nasehat lelaki yang lebih muda satu tahun darinya itu.
“Bagaimana
aku bisa bahagia? Kenapa aku tidak pernah bahagia sekalipun kamu tulus
mencintaiku dulu,?” tanya Sophia lagi sambil meneteskan air matanya dan
mengusapnya dengan tissue yang diambil oleh Aghna.”Sophia dengarkan aku!
Hidupku dulu pernah kearah berbelok tajam karena aku tidak pilih jalan yang
benar-benar lurus meski berbatu. Itu pilihan kamu mana yang akan kamu pilih,
tapi dijalan yang berbelok kamu pasti akan menemukan jalan yang lurus lagi jika
kamu tidak salah memilih. Sophia lihat! Untuk menjadi bahagia bukan urusan kamu
selalu dicium atau bersama seorang laki-laki yang kamu harapkan. Bahagia itu
bisa datang dari manapun. Hari ini aku sangat bahagia karena aku ada ujian dan
aku belum belajar, tapi aku sangat bahagia karena aku lebih cepat mengerjakan
dan keluar kelas lebih dulu dari teman-temanku,” kali ini Aghna penuh dengan
senyum dan tawa saat menasehati si wanita bodoh yang kelak akan menjadi wanita
yang benar-benar cukup pintar dalam segala hal. Dalam waktu yang sama, Sophia
menutup wajahnya dan tangisnya semakin keras karena ingat apa yang pernah ia
lakukan pada Aghna dan ia sangat merindukan Aghna yang sama sekali tidak
berubah. Berbeda dengan Sophia, begitu cepatnya berubah.
“Sophia,
kamu bukan seperti Sophia yang dulu. Sophia yang penuh motivasi dalam hidupnya.
Sophia yang tidak pernah memikirkan masa depan orang lain selain keluarganya.
Ayo Sophia kamu wanita hebat dan kuat. Aku akan bangga pernah memilikimu,” air
mata Sophia semakin deras mendengar motivasi dari lelaki itu. “Sophia, janji
padaku jangan menangis lagi. Kamu hanya akan terlihat sangat menderita jika
begitu. Kamu sangat kuat. Ayolah fokus pada hidupmu. Kembali ke jalanmu yang
pernah kamu pilih dulu, penuh dengan cita-cita bukan obsesi. Fokuslah belajar
apapun, hal-hal baru atau bahasa. Pergi ke perpustakaan dan baca buku-buku yang
kamu suka kemudian menulislah lagi. Jika kamu serius dalam bahasa bertemulah
orang-orang asing, Perancis! Ya Perancis Sophia! Aku ingin kesana kamu juga
akan kesana.”
Sophia
mencoba menghentikan tangisnya dan menyerap apa yang telah Aghna katakan
kemudian ia berjanji akan memenuhi janji-janji itu. “Baiklah Aghna, aku
berjanji aku akan memenuhi janji itu dan aku akan berubah. Aku ingin kamu
bangga dan berharap bisa menemuimu lagi,” ucap Sophia dengan hati yang lebih
lapang.
Aghna
kemudian berdiri begitu juga Sophia, rasanya enggan untuk beranjak dari tempat
itu tapi Sophia sadar bahwa ini bukan pertemuan terakhir dengan Aghna. Sophia
menahan air matanya, kemudian Aghna memeluknya selama 3 detik, jiwanya lebih
tenang meski Sophia tidak membalas pelukan itu. Setelah Aghna melepas pelukan
itu, mata Sophia mulai berkaca-kaca. “Hey, hey Sophia ! Hentikan tangismu kamu
sudah janji kamu tidak akan menangis lagi dan aku akan sangat benci jika suatu
saat aku melihatmu tidak berubah atau malah lebih buruk dari ini,” pinta Aghna
dengan tulus. Sophia mengaitkan jari kelingkingnya ke kelingking Aghna sebagai
tanda perjanjian, “Aku tidak akan melupakan janji itu, Aghna,” kata Sophia
mengucap janji.
Keduanya
akan memulai lagi berjalan kearah yang berbeda tapi sama-sama baik atau lebih
baik. Mana yang lebih baik, bukan itu tujuannya. Mereka hanya ingin kehidupan
mereka sama-sama berubah meski berbeda. Meskipun begitu mereka tetap mengatakan
“See you”--secara mendalam dua kata itu diartikan sebagai makna bahwa suatu
saat ia akan bertemu lagi. Untuk melupakan sakit yang diderita Sophia hari itu,
tentu satu persen pun belum bisa. Tetapi, gadis itu tidak akan menjadi bodoh
lagi, ia berjanji pada lelaki itu tapi lebih penting adalah janjinya terhadap
dirinya sendiri. Bukan lagi menjadi pecandu tapi kembali lagi menjadi pemimpi.
Meminjam kalimat Dewi Lestari, bahwa mimpi itu mengurangi kualitas tidur
seseorang. Tetapi bagi Sophia mimpi adalah kualitas hidup seseorang, semakin
banyak seseorang bermimpi semakin tinggi juga kualitas hidupnya. Pikirannya
melayang jauh pada masa depan yang masih sunyi dan penuh misteri. Apa yang
harus dia lakukan hanya satu. Lupakan!
Editor : Sanyoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar