Jumat, 16 Juni 2017

Menjadi Pencandu atau Pemimpi

ilustrasi

Sebuah cerita fiktif tentang seorang wanita pecandu yang berharap hidupnya bisa berubah dan lebih bahagia dengan seorang laki-laki yang dipilihnya. Harapan yang tidak akan menjadi kenyataan saat ia mendapati lelaki itu
bersama seorang gadis yang katanya hidupnya lebih menderita dari wanita pecandu itu. Nasehat seorang sahabat wanita pecandu itulah yang menjadi jalan keluarnya dan memilih jalan menuju kebahagiaan.

Berbalut jaket warna hitam milik seorang laki-laki, sebut saja Dylan, Sophia dengan perasaan bahagia berjalan menuju sebuah rumah, tempat ia pernah mendapat kecupan di keningnya oleh seorang lelaki, yakni Dylan. Kecupan itu rasanya belum kering meski sudah 48 jam yang lalu. Sebab itulah, langkahnya begitu meyakinkan saat menyusuri jalan. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya, langkahnya tak pasti, ia tak tahu siapa sebenarnya yang akan dia tuju, niatpun sebenarnya tak punya hanya modal nekat sehingga ia sampai pada sebuah rumah. Hari itu, ia berharap segala sesuatu yang terjadi padanya akan berubah. Ia berharap tidak lagi menjadi pecandu. Bukan candu akan obat-obatan ataupun alkohol, dia seorang candu pada sebuah obsesi. Obsesi itu, hanya dia yang tahu dan bagaimana harus menjelaskan. Karena obsesi itu Sophia merasa menjadi orang yang tidak pernah bahagia.
Matahari mulai menyengat kulitnya menembusi pori-pori jaket yang ia kenakan. Ia menambah tempo berjalannya karena takut aroma matahari akan menghilangkan aroma keringat Dylan yang menempel di jaket itu. Aroma yang membuatnya selalu merindukan Dylan. Rindu akan kehangatan yang pernah Sophia dapatkan dari Dylan dan mungkin kali ini dia akan mendapatkan lebih darinya sehingga ia tidak menjadi candu lagi.
Dengan senyum yang merekah dibibirnya, Sophia membuka pintu gerbang yang tidak terkunci berharap pintu utama juga tidak terkunci. Ia mulai meraih gagang pintu dan menggerakkan ke bawah sambil mendorongnya. Benar, pintu tidak terkunci. Tak ada siapapun di dalam rumah, barangkali Dylan masih tertidur dikamarnya. Sophia menuju kearah kamar Dylan sambil berlari kecil menunjukkan bahwa hatinya sedang sangat bahagia.
Ia mengetuk pintu kamar Dylan tiga kali. Ia tidak bermaksud menunggu Dylan membukakan pintunya. Satu detik setelah mengetuk pintu, Sophia membuka pintu kamarnya yang ternyata tidak terkunci. Saat pintu terbuka, ia mendapati seorang laki-laki siapa lagi jika bukan Dylan, tidur disamping seorang wanita dengan keadaan setengah telanjang.
Dylan membuka matanya dan tampak terkejut melihat Sophia telah berdiri disamping tempat tidurnya. Bagaimana dengan Sophia? Tentu ia lebih terkejut hingga ia tak bisa menggerakkan kakinya atau mulutnya. Ingin lari tapi tak bisa atau hanya sekedar untuk bertanya “dia siapa?” juga tak bisa. Dalam sebuah cerita pasti tokoh Sophia akan dituliskan akan menangis dan pergi dari tempat itu. Tapi tidak! Sophia hanya berdiri tanpa bisa mengalihkan pandangannya pada objek itu ataupun menangis. Bendungan dimatanya masih cukup tinggi dan kuat untuk menghalangi air matanya. Oh, Sophia yang malang.
Dylan mulai berdiri perlahan karena takut wanita disampingnya akan terbangun, kemudian ia menarik lembut tangan Sophia dan menuntunnya perlahan keluar dari kamar dan menutup pintunya perlahan. Tepat berada didepan kamar Sophia justru tidak menanyakan siapa wanita yang didalam, justru ia mengajak Dylan untuk pergi ke pantai. Sophia yang malang dan bodoh. Dylan menuntun kembali Sophia untuk menjauh dari kamar tetapi Sophia berteriak kecil yang justru membuat Dylan tampak marah. Sophia mencoba untuk memeluk Dylan tapi kedua tangannya menolak dan menepis tangan Sophia. Lagi-lagi Sophia bodoh meminta untuk pergi ke pantai sore ini dengan wajah memelas.
“Ayo kita pergi ke pantai sore ini dan aku akan mengembalikan jaket ini nanti sore,” pinta Sophia.
“Apakah kamu tidak tahu jalan menuju ke pantai sehingga harus bersamaku,?” jawab Dylan sinis. Kali ini Sophia terkejut dengan apa yang diucapkan Dylan benar-benar menyayat hati. Kemudian dia bertanya, “Apa kamu takut wanita itu akan bangun dan akan marah padamu karena aku disini? Mungkin dua hari yang lalu saat kau bersamaku sebenarnya kau sudah bersama dia juga,”
“Sungguh aku tidak takut. Pergi dari rumahku,!” teriak Dylan.
Sophia masih bersikukuh untuk tetap tinggal sampai Dylan mengatakan apa yang sedang terjadi. Dylan tak mampu menahan kesabarannya lagi dan mendorong Sophia keluar namun Sophia masih mampu menahan pintunya. Lagi-lagi Sophia didorong olehnya dengan sangat kuat namun Sophia memasangkan kedua tangannya diantara gawang dan pintu sehingga tidak mungkin Dylan akan menutup pintunya. Tapi karena tenaga wanita bodoh yang mungil kalah dengan tanaga Dylan dengan perawakan yang cukup tinggi dan besar, Sophia didorong lagi oleh Dylan sampai Sophia benar-benar terjatuh. Dengan sisa-sisa tenaga, Sophia mencoba berdiri dan mengetuk pintu lagi, tapi sial tak ada jawaban.
Sophia memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan berjalan cepat sambil menutup wajahnya. Benar saja, dia baru bisa menangis setelah diperlakukan seperti itu. Wanita mana yang tidak menangis jika diperlakukan kasar seperti itu, mungkin hanya wanita yang terbuat dari robot. Sophia mulai putus asa, dijalan ia masih menangis dengan sangat keras jika kembali ingat apa yang telah terjadi. Dia tak tahu lagi harus pergi kemana.
Hanya ada satu orang yang pernah menjadi sahabat baiknya, namanya Aghna. Ia pernah mencintai Sophia dengan sangat tulus tetapi Sophia justru menyakitinya. Bodoh saja jika Sophia benar-benar akan pergi pada lelaki itu dan meminta tolong pada orang yang pernah ia sakiti. Lagi pula, tidak akan pernah terjadi jika Sophia memintanya kembali disaat lelaki pemilik hati yang tulus tengah menciptakan cahaya baru cinta dihatinya bersama seorang wanita yang sangat ia cintai.
Benar saja! Pikiran wanita itu melayang pada lelaki bernama Aghna. Berharap mendapat kesempatan lagi dengannya. Tapi tetap saja bodoh, berjalan sambil menangis hingga sampai pada sebuah rumah kemudian ia mencoba mengetuk pintu kamar Aghna. Tiga kali ia mengetuk tak ada jawaban kemudian ia menelphone-nya. Dan akhirnya Aghna membuka pintu sesaat kemudian Sophia langsung memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Aghna tak mampu berkata apa-apa lagi karena sebenarnya ia telah bosan menghadapi sifat Sophia, dan candunya terhadap sesuatu.
Aghna membimbing Sophia untuk duduk dengan wajah yang datar. Sophia duduk di sebuah kursi di depan kamar dan Aghna duduk di atas meja. Masih dalam kondisi menangis Sophia meletakkan kedua tangannya dipangkuan Aghna dan mengubur wajahnya diatas tangannya dengan isak tangis yang semakin kencang. Tak punya rasa sungkan atau malu terhadap pria yang telah ia sakiti sekalipun ia terlihat sangat lemah.
Beberapa saat setelah itu, Sophia mengangkat kepalanya dengan mengusap air mata yang masih membanjiri pipinya. Ia memberanikan diri untuk menatap Aghna dan berkata, “Apakah kau membenciku dan akan selalu membeciku,?” sambil terisak-isak.
“Apa yang terjadi,?” balas Aghna dengan nada datar namun tegas. Hati lelaki itu sebenarnya sangat lembut dan tulus tapi tidak mungkin lagi ia berikan pada wanita candu dan bodoh itu.
“Maafkan aku sekali lagi jika kamu benar-benar marah,” ucap Sophia sambil terisak-isak. Ia berpikir seolah-olah dunianya akan hancur. Hey! Tapi tidak! Aghna menunjukkan caranya.
“Apa yang sebenarnya terjadi, mengapa kamu tidak seperti Sophia yang dulu,?” tanya Aghna mulai bersimpati.
“Pagi tadi aku membuka kamarnya, aku mendapati Dylan tidur bersama seorang wanita hanya berbalut baju yang sangat minim,” Sophia berhenti dan mengusap air matanya dengan lengan jaket yang masih ia gunakan. Sementara Aghna masuk kedalam kamar untuk mengambil sesuatu. Tissue. Sial! Sophia menginginkan tangan Aghna untuk mengusap air matanya. Kemudian ia melanjutkan, “Aku hanya mencoba mengembalikan jaket ini tapi aku berubah pikiran dan ingin mengajaknya pergi ke pantai. Tapi Dylan menuntunku keluar menjauh dari kamarnya. Semakin lama semakin kasar, kemudian dia mendorongku dan aku terjatuh,” isak tangisnya masih sangat kencang dan tidak tahu bagaimana harus menghentikan air matanya. Jari-jarinya yang kecil mulai menyentuh tangan Aghna dan bertanya lagi, “Apa yang harus aku lakukan? Ini kali pertama aku diperlakukan seperti itu. Aku ingin dihormati!” teriak Sophia.
Aghna mendengarkan itu seolah ia masih tidak percaya apa yang Dylan lakukan pada Sophia. Bagaimanapun juga Sophia pernah mengisi hati Aghna. “Sophia, aku ingin bertanya. Apa yang terjadi antara kamu dengan Dylan dua hari lalu,?”. Sophia membalas tanpa berpikir panjang, “Ya, apa yang Dylan ceritakan padamu itu semua benar,”. “Sophia, lihat! Jika kamu yang memulai itu adalah salahmu. Dylan cerita padaku bahwa ia tidak menganggapmu apa-apa, dia memiliki seorang wanita meski aku tahu dia tidak begitu mencintai tapi dia memiliki perasaan lebih untuk wanita itu dari apa yang pernah terjadi antara kamu dan dia,” Aghna mulai memperdulikan gadis malang itu.
“Jadi apa yang harus kulakukan? Aku ingin balas dendam ke dia karena telah memperlakukanku sangat buruk,!” tanya Sophia sambil menutup matanya. “Sophia dengar! Jujur aku ingin membantumu sebenarnya tapi kamu selalu tidak konsisten,” balas Aghna sambil menghadapkan tubuhnya kearah Sophia. “Tolong bantu aku, aku mohon aku harus bagaimana, Aghna?” pinta Sophia penuh harap. “Tapi kamu harus berjanji padaku sesuatu,” pinta Aghna. Baiklah! Sophia menyetujui permintaan Aghna yaitu menghapus semua kontak dan kenangan mereka dan semua laki-laki yang telah menyakiti Sophia.
“Kamu harus janji padaku dan dirimu sendiri bahwa kamu akan berubah. Yang pertama berdoalah dimanapun kamu suka. Sophia kamu pasti bisa. Jika kamu tidak ingin dianggap rendah oleh Dylan sebaiknya kamu mulai menata hidupmu yang baru lagi. Dengarkan aku! Apa yang kamu inginkan barangkali bukan apa yang kamu butuhkan begitu sebaliknya apa yang sebenarnya tidak kamu inginkan, itu adalah kebutuhanmu. Janjilah padaku Sophia untuk berubah dan aku berjanji akan menjadi saudaramu meski kita jauh. Aku akan selalu mendoakanmu, aku akan bangga padamu suatu saat nanti bahwa aku pernah memilikimu,” petuah Aghna yang barangkali tidak disangka oleh Sophia. Umur memang tidak menjamin kematangan emosional seseorang, hal itu Sophia buktikan dengan nasehat lelaki yang lebih muda satu tahun darinya itu.
“Bagaimana aku bisa bahagia? Kenapa aku tidak pernah bahagia sekalipun kamu tulus mencintaiku dulu,?” tanya Sophia lagi sambil meneteskan air matanya dan mengusapnya dengan tissue yang diambil oleh Aghna.”Sophia dengarkan aku! Hidupku dulu pernah kearah berbelok tajam karena aku tidak pilih jalan yang benar-benar lurus meski berbatu. Itu pilihan kamu mana yang akan kamu pilih, tapi dijalan yang berbelok kamu pasti akan menemukan jalan yang lurus lagi jika kamu tidak salah memilih. Sophia lihat! Untuk menjadi bahagia bukan urusan kamu selalu dicium atau bersama seorang laki-laki yang kamu harapkan. Bahagia itu bisa datang dari manapun. Hari ini aku sangat bahagia karena aku ada ujian dan aku belum belajar, tapi aku sangat bahagia karena aku lebih cepat mengerjakan dan keluar kelas lebih dulu dari teman-temanku,” kali ini Aghna penuh dengan senyum dan tawa saat menasehati si wanita bodoh yang kelak akan menjadi wanita yang benar-benar cukup pintar dalam segala hal. Dalam waktu yang sama, Sophia menutup wajahnya dan tangisnya semakin keras karena ingat apa yang pernah ia lakukan pada Aghna dan ia sangat merindukan Aghna yang sama sekali tidak berubah. Berbeda dengan Sophia, begitu cepatnya berubah.
“Sophia, kamu bukan seperti Sophia yang dulu. Sophia yang penuh motivasi dalam hidupnya. Sophia yang tidak pernah memikirkan masa depan orang lain selain keluarganya. Ayo Sophia kamu wanita hebat dan kuat. Aku akan bangga pernah memilikimu,” air mata Sophia semakin deras mendengar motivasi dari lelaki itu. “Sophia, janji padaku jangan menangis lagi. Kamu hanya akan terlihat sangat menderita jika begitu. Kamu sangat kuat. Ayolah fokus pada hidupmu. Kembali ke jalanmu yang pernah kamu pilih dulu, penuh dengan cita-cita bukan obsesi. Fokuslah belajar apapun, hal-hal baru atau bahasa. Pergi ke perpustakaan dan baca buku-buku yang kamu suka kemudian menulislah lagi. Jika kamu serius dalam bahasa bertemulah orang-orang asing, Perancis! Ya Perancis Sophia! Aku ingin kesana kamu juga akan kesana.”
Sophia mencoba menghentikan tangisnya dan menyerap apa yang telah Aghna katakan kemudian ia berjanji akan memenuhi janji-janji itu. “Baiklah Aghna, aku berjanji aku akan memenuhi janji itu dan aku akan berubah. Aku ingin kamu bangga dan berharap bisa menemuimu lagi,” ucap Sophia dengan hati yang lebih lapang.
Aghna kemudian berdiri begitu juga Sophia, rasanya enggan untuk beranjak dari tempat itu tapi Sophia sadar bahwa ini bukan pertemuan terakhir dengan Aghna. Sophia menahan air matanya, kemudian Aghna memeluknya selama 3 detik, jiwanya lebih tenang meski Sophia tidak membalas pelukan itu. Setelah Aghna melepas pelukan itu, mata Sophia mulai berkaca-kaca. “Hey, hey Sophia ! Hentikan tangismu kamu sudah janji kamu tidak akan menangis lagi dan aku akan sangat benci jika suatu saat aku melihatmu tidak berubah atau malah lebih buruk dari ini,” pinta Aghna dengan tulus. Sophia mengaitkan jari kelingkingnya ke kelingking Aghna sebagai tanda perjanjian, “Aku tidak akan melupakan janji itu, Aghna,” kata Sophia mengucap janji.
Keduanya akan memulai lagi berjalan kearah yang berbeda tapi sama-sama baik atau lebih baik. Mana yang lebih baik, bukan itu tujuannya. Mereka hanya ingin kehidupan mereka sama-sama berubah meski berbeda. Meskipun begitu mereka tetap mengatakan “See you”--secara mendalam dua kata itu diartikan sebagai makna bahwa suatu saat ia akan bertemu lagi. Untuk melupakan sakit yang diderita Sophia hari itu, tentu satu persen pun belum bisa. Tetapi, gadis itu tidak akan menjadi bodoh lagi, ia berjanji pada lelaki itu tapi lebih penting adalah janjinya terhadap dirinya sendiri. Bukan lagi menjadi pecandu tapi kembali lagi menjadi pemimpi. Meminjam kalimat Dewi Lestari, bahwa mimpi itu mengurangi kualitas tidur seseorang. Tetapi bagi Sophia mimpi adalah kualitas hidup seseorang, semakin banyak seseorang bermimpi semakin tinggi juga kualitas hidupnya. Pikirannya melayang jauh pada masa depan yang masih sunyi dan penuh misteri. Apa yang harus dia lakukan hanya satu. Lupakan!


Editor : Sanyoto

Tidak ada komentar: