ilustrasi |
“Di dunia ini, tempat apa dan dimana yang ingin kau kunjungi,?” tanya seorang pria berbadan atletis yang duduk disamping seorang wanita di sudut kota kala senja.
Sembari
menghirup kopi hangat dalam cangkirnya wanita itu membalas,
“Aku? Tentu aku
ingin dan akan pergi ke Sydney, New South Wales, Australia. Bagaimana
denganmu,?”
“Aku
ingin berada pada sebuah sore di pantai Copacabana, Rio De Janeiro dan
terinspirasi sebuah novel berjudul “Eleven Minutes” karya Paulo Coelho, maka
aku ingin menghabiskan sebelas menitku bersama Maria, si tokoh wanita dalam
novel itu.” Balasnya sambil tersenyum. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan di
Sydney? Apa yang menarik disana?”
“Oohh
Maria si wanita pura-pura dalam sebelas menitnya itu? Tentu itu hanya
imajinasimu saja. Mana mungkin orang melakukan hanya dalam waktu sebelas menit?
Tapi ku pikir, kau sangat cocok berada disana, tubuhmu atletis dan wajahmu
eksotis. Tidak sepertiku, itulah sebabnya aku memilih Sydney,” jawab si wanita
itu. Kemudian ia melanjutkan, “Benar aku menyukai pantai sepertimu, tapi bukan
pantai yang sangat panjang seperti Copacabana. Perairan di Sydney cukup
berhasil membuatku jatuh cinta, kota dengan banyak teluk dan kapal feri. Aku
bisa menjelajahi setiap sudut kota Sydney dengan kapal feri berlayar menuju
satu dermaga ke dermaga yang lainnya dan berharap aku akan berhenti pada
dermaga terakhir yang memaksaku untuk berhenti.”
“Imajinasimu
tidak natural aku bisa membaca pikiranmu bahwa kamu berharap ada seorang
Sydneysider kaya raya dengan kapal pesiar-nya berhenti di sebuah dermaga untuk
menjemputmu,” tandas si lelaki itu.
“Ah
sial! Pintar benar kau ini. Ya tentu tapi aku akan menikmati Pantai Bondi,
Manly atau hanya sekedar menikmati jejak kapal feri yang melintas di depan Sydney
Opera House menuju Sydney Harbour Bridge.”
“Memangnya
kau bisa berselancar,?” potong lelaki itu.
“Tentu
tidak! Aku hanya akan menikmati pasir dan pemandangan disana jika tidak aku
hanya akan menghirup koktail di atas kolam karang Icebergs.”
“Dan
tentu dipikiranmu kau berharap ada seorang pria berpura-pura mengenalimu
kemudian mengajakmu menghirup kopi disebuah cafe lalu pembicaraan kalian
semakin dalam,”
“Sebenarnya
sangat banyak bayanganku tentang Sydney dan apa yang akan terjadi disana.
Mungkin ucapanmu itu ada benarnya juga 50 persen.” Wanita itu mengakhiri
kemudian menghirup sisa kopinya yang hampir dingin. Sambil menepuk pundak si
lelaki itu dan berlalu meninggalkan tempat itu.
*****
Sudah
lima tahun yang lalu Sonia bertemu dengan Hendrik, sahabat baiknya meski kadang
memberi nasehat yang cukup pahit. Tidak ada kabar lagi darinya, usianya hampir
mendekati 30 tahun sedangkan Sonia berada di batas maksimal targetnya—26 tahun.
Belum lagi keinginannya pergi ke Sydney tercapai, urusannya di Indonesia tak
kunjung selesai. Lagi-lagi ia menuduh Hendrik tak setia lagi menjadi sahabatnya
karena telah meninggalkannya tanpa berkomunikasi dengannya satu kali pun.
Apakah dia sedang berada di pantai Copacabana dan menghabiskan sebelas menitnya
dengan seorang wanita seperti Maria?
Ia
selalu melihat handphone-nya meski ia tahu tidak ada yang menghubungi dirinya.
Kemudian menatap kembali ke layar komputernya. Belum ada satu katapun yang
berhasil ia tuliskan biasanya beberapa kalimat telah ia tuliskan meski harus
berhenti berpuluh-puluh menit karena terkuncinya ide didalam pikirannya. Dia
mulai menyerah dan mengalihkan pandangannya pada tumpukan kertas, sesaat
kemudian telephone genggamnya berdering. Sebuah video call Whatsapp masuk
dengan kode negara bukan Indonesia. Tanpa berpikir panjang Sonia mengangkatnya
dan menemui gambar seorang laki-laki yang telah lama ia rindukan.
“Hendrik!”
teriak Sonia.
“Ya.
Ini aku bagaimana kabarmu? Kapan kau akan ke Sydney?” Tanya Hendrik.
“Entahlah,
aku berharap secepatnya. Kau dimana?”
“Lihat
Sonia, aku berada di pantai Copacabana sekarang,” sambil memutar handphone-nya
mengarahkan ke segala penjuru pantai. Kemudian saat muncul diwajah Hendrik ia
telah bersama seorang wanita. “Sonia. Maaafkan aku tidak menghubungimu selama
ini, aku baru tiba di Brazil enam bulan yang lalu dan apa yang telah terjadi
disini, aku berharap kau mendengarkan ceritaku saat aku pulang nanti. Lihat!
Aku akan menikah disini dan ini Monica, satu-satunya kandidat istriku,” jelas
Hendrik sambil tersenyum senang dan Monica menyapa Sonia kemudian menghilang
dari layar handphone-nya.
Tampak
banyak perubahan yang terjadi pada Hendrik--kulitnya menjadi lebih gelap dan
badanya bertambah atletis. Sangat cocok dengan seorang wanita bernama Monica, semua
akan mengatakan bahwa ia cantik dan eksotis layaknya gadis Brazil kebanyakan.
Tapi soal pernikahan, rasanya ada yang mengganjal dihati Sonia. Mungkinkah ia
menyimpan rasa selama ini pada Hendrik? Entahlah. Ia tak berani berpikir seperti
itu. Saat ini, yang ia pikirkan adalah bagaimana ia meninggalkan Indonesia
secepatnya. Ia tak mau lagi mimpinya tertunda-tunda. Perhatiannya beralih lagi
pada urusan hendrik lagi.
“Kau
bertemu wanita itu seolah Maria dalam novel itu dan sebelas menitmu membawa
cinta,?” Tanya Sonia sedikit menunjukkan kekesalan pada Hendrik.
“Hahaha,
tidak Sonia. Tapi hampir mirip. Aku bertemu di sebuah kelab malam dan
menghabiskan malam bersama tapi benar katamu, sebelas menit tidaklah cukup
sehingga aku harus melanjutkan selama sisa hidupku,”
“Ah!
Benar saja. Kau sudah gila rupanya. Kau yakin dengan wanita itu,?” tanya Sonia
meragukan.
“Tentu.
Bagaimana dengan urusanmu di Indoensia?”
“Lihat
ini,” sambil mengarahkan kamera depannya kearah tumpukan kertas-kertas diatas
mejanya. “Naskah-naskah cerpen, puisi dan dua novelku tidak diterima penerbit.
Aku tidak tahu kenapa penerbit sekarang menerapkan standar yang tinggi untuk
sebuah naskah. Mungkin, mereka tidak ingin memberatkan editor,” jawab Sonia
ketus.
“Itu
hal biasa dalam kepenulisan Sonia. Kamu sebagai penulis tugasmu menulis saja.
Katamu saat kamu menulis atau membaca kecantikanmu bertambah. Ingat itu Sonia?”
Hendrik menasehati.
Ya!
Sonia merasa kecantikannya bertambah saat menulis atau membaca. Itu semua
disebabkan karena aliran darah mengalir deras karena bersemangat dan hormon
bahagia muncul sehingga aliran darah di wajah tidak kekurangan. Entah itu teori
dari mana tapi Sonia merasakan begitu. Setelah berbicara panjang dengan
Hendrik, Sonia mulai menulis kata demi kata hingga tersusun sebuah paragraph
sampai berpuluh-puluh paragraph. Kemudian terlintas dibenaknya untuk
menerjemahkan naskahnya kedalam bahasa inggris. Gila! Mungkinkah Sonia memiliki
kapasitas dalam hal penerjemahan?
Suatu
siang yang cukup panas membuat Sonia malas untuk beranjak dari ruangannya.
Sonia membuka surelnya dan menemukan sebuah pesan dari alamat surel yang tidak
ia kenali. Dalam surat itu menyatakan bahwa salah satu novel Sonia mendapat
kesempatan untuk terbit di beberapa kota di Australia salah satunya adalah
Sydney. Seorang editor asal Sydney meminta izin Sonia untuk menerjemahkan
naskah tersebut dan menintanya untuk datang ke Sydney secepatnya. Bintang,
kupu-kupu seolah-olah berterbangan didalam perutnya. Rasa bahagia mendengar
kabar ini melebihi kebahagiaan seorang yang sedang jatuh cinta. Secepatnya ia
membalas surel itu dan memberikan kontaknya. Dia berpikir, darimana editor itu
mendapatkan naskah novelnya? Ah! Mungkin penerbit yang menolaknya. Terima kasih
kalau begitu.
Sonia
mencari namanya di papan penanda yang dibawa orang-orang yang telah menunggu di
depan pintu kedatangan. Ini kedua kalinya Sonia keluar negeri setelah yang
pertama kali ke Singapura untuk sekedar berlibur. Kedatangannya di Sydney sudah
pasti soal karirnya sebagai seorang penulis tapi tak menutup kemungkinan ia
mendapatkan bonus-bonusnya termasuk bertemu seorang pangeran seperti yang
diimpikannya. Ia menangkap namanya di selembar kertas yang dibawa seorang
lelaki paruh baya yang Sonia pikir adalah editor itu sendiri. Sonia menghampiri
lelaki itu dan memperkenalkan namanya, “Sonia Nowan” sambil menyalami pria
dengan tubuh besar itu—Hans atau lebih pantasnya Mr.Hans.
Sonia
dan Mr.Hans memasuki mobil yang telah menunggu di depan pintu utama bandara.
Mereka akan mengantar Sonia ke penginapan sementara sebelum nantinya ia akan
ditempatkan disebuah apartment yang disediakan si Editor. Tak
tanggung-tanggung, Sonia akan tinggal di Sydney selama satu tahun. Baginya itu
waktu yang cukup lama hanya untuk berdiskusi soal novelnya. Selama satu tahun
itupun Sonia akan merasa cukup untuk menjelajahi tiap-tiap sudut kota Sydney
dan menemukan banyak hal-hal baru yang mungkin bisa membuat produktivitasnya
dalam menulis meningkat. Di dalam mobil Sonia bertanya apakah pria yang
menjemputnya tadi adalah sang editor itu. Ternyata bukan, ia adalah tangan
kanan si editor itu. “Jadi bagaimana bisa tuan David Brown mengetahui novel saya,?”
tanya Sonia penuh rasa penasaran. Sambil membenarkan jas yang dikenakan,
Mr.Hans menjawab, “Itu bukan kapasitas kami untuk mengetahuinya nona. Besok
pagi nona ada pertemuan dengan Mr.Brown untuk membahas kelanjutan novel nona,”
Sonia
benar-benar seperti bermimpi telah berada di Sydney, ia menikmati perjalanan
itu. Kebetulan saat dia tiba di Sydney adalah pada musim panas dengan suhu 20,6°
Celcius—suhu yang tepat untuk Sonia karena badannya yang kecil rasanya belum
siap menemui musim dingin dengan suhu lebih rendah dari itu. Sonia akan
menginap selama satu minggu atau lebih di Sydney Harbour Marriott Hotel yang
berada di Circular Quay. Dia tak membanyangkan berapa akomodasi yang telah ia
habiskan di Sydney selama satu tahun dengan fasilitas yang mewah ini. Jika
dirupiahkan, mungkin saja sudah bisa untuk membeli rumah dikawasan mewah di
Indonesia. Jangankan satu tahun, biaya hidup di Sydney selama satu bulan sangat
cukup untuk membayar uang muka rumah tipe 80 di Indonesia. Sonia, mendapatkan
itu semua dengan cuma-cuma. Benarkah ia telah menjadi Cinderella atau akan
menjadi Cinderella selama satu tahun? Tidak tahu. Dia hanya akan menjalani
kehidupannya dalam satu tahun ke depan di Sydney—kota impiannya. “Ms.Nowan,
anda bisa menghubungi nomor yang terletak diatas meja ini jika membutuhkan
sesuatu,” kata Mr.Hans menyadarkan lamunan Sonia. “Terima kasih Mr.Hans,”
Sonia
merebahkan tubuhnya di kasur dan membuka handphone-nya kemudian memasangkan
kartu seluler lokal yang telah dibelinya. Ia mencoba menghubungi Hendrik yang
katanya hari ini adalah pernikahannya bersama Monica—gadis Brazil yang ia temui
di Pantai Copacabana. Ya benar saja Hendrik membalas pesan Sonia dengan
mengirim beberapa foto pernikahannya. Sonia turut bahagia dan berharap bisa
menghadiri acara itu. Ia berjalan menuju jendela dan membuka tirainya.
Pemandangan yang luar biasa—kota teluk dengan banyak kapal feri yang lalu
lalang di depan Sydney Opera House dengan meninggalkan jejak diatas air yang
cepat menghilang. Memandang dari balik jendela, Sonia berharap ingin segera
menjelajahi kota dengan kapal feri berlayar dari dermaga satu ke dermaga
lainnya. Satu yang harus ia kerjakan sekarang adalah bekerjasama dengan
pihak-pihak yang akan menerjemahkan novelnya dalam waktu enam bulan, waktu yang
tersisa semoga benar-benar bonus.
Keesokan
harinya Mr.Hans telah menjemput Sonia untuk menemui David Brown di kantornya.
Sonia memanfaatkan peluang bersama Mr.Hans untuk mencari informasi tentang
Sydney dan bagaimana kehidupan di Sydney. Sonia orang yang sangat aktif
bertanya meski pada orang yang baru dikenalnya. Itu sebuah keseharusan baginya
mengingat ia seorang diri di kota ini dan tentu ia tidak akan banyak merepotkan
Mr.Brown sebagai penanggung akomodasinya. Sesampainya di kantor, Sonia diminta
untuk menunggu di suatu ruangan. Ia membayangkan apa yang akan dibicarakan
dengan Mr.Brown? Benar nama David Brown tidak menunjukkan bahwa ia orang
Indonesia lantas mengapa ia bersedia menjadi editor dan salah satu dari tim
penerjemaahan novelnya sekaligus membantu dalam penerbitannya? Jika pun bukan
orang Indonesia ia juga tidak bermaksud meremehkan kemampuannya dalam memahami
isi novel tersebut. Sonia mulai gundah. Lamunannya tersadar saat seseorang
masuk dan menyapanya. “Nona Nowan?” Tanya seorang pria berbalut jas warna hitam
lengkap dengan segala atributnya yang membuat dirinya tampak perlente. Sonia
menjawab dengan gugup sambil berdiri dan menyalami pria itu, “David Brown” ucap
pria itu dengan tegas.
Hanya
ada keduanya di dalam ruangan itu, Sonia berpikir kenapa penerjemah tidak
diikutkan dalam pertemuan ini. Ia memberanikan diri untuk memulai percakapan
dengan sebuah pertanyaan, “Excusme, Mr.Brown, is there anyone else we should
wait,?” Mr.Brown menatap Sonia dan duduk di depannya sambil menjawab, “Tidak
ada, hanya kita berdua.” Sonia terkejut bahwa pria berusia 30 tahun itu
ternyata berbicara Bahasa Indonesia. Sebelum Sonia melontarkan pertanyaan lain,
Mr.Brown memulai pada topick pembicaraan.
“Saya,
editor sekaligus sebagian besar penerjemah novel anda nona Nowan,” ucapnya
sambil tersenyum.
Masih
dengan perasaan gugup Sonia mengucapkan terima kasih atas apa yang telah
Mr.Brown berikan padanya. Ia juga meminta setelah satu minggu menginap di
hotel, untuk pindah ke lokasi yang lebih sederhana, mungkin di Surry Hills atau
Suburb area di Maroubra. Setidaknya dia bisa berjalan menikmati kebebasan dan
bertemu dengan orang-orang baru.
Pertemuan
tersebut menghabiskan waktu selama dua jam. Waktu yang cukup untuk membuat
Sonia mudah akrab dengan orang baru. Hal itu penting juga untuk melancarkan urusannya.
Sonia berpamitan dengan Mr.Brown tetapi tiba-tiba pria itu mendekat dan
berkata, “Nona Nowan, anda tidak perlu memanggilku tuan, panggil saja David.
Anggap saja kita kawan lama,” Sonia terkejut dan membalas, “ooh baik Mr.Brown,
ah maksudku David, ya David.”
Sonia
menghentikan langkah Mr.Hans yang berjalan didepannya menuju mobil yang telah
terparkir. Ia meminta untuk menunjukkan bagaimana untuk kembali ke hotel dengan
menggunakan kapal feri. Sebenarnya Mr.Hans tidak menyetujui karena Sonia masih
dalam ikatan kontrak hubungan kerja, oleh karenanya ia takut jika terjadi
apa-apa dengan Sonia. Tapi pintarnya Sonia bernegoisasi membuat Mr.Hans member
izin untuk kembali ke hotel tanpa ia temani.
Ini
kali pertama Sonia menaiki kapal feri di Sydney. Ia memulai penjelajahannya
dari satu dermaga ke dermaga lain hari itu. Meskipun transportasi di kota
tersebut cukup rumit bagi pendatang baru seperti Sonia, toh ia akhirnya bisa
kembali ke hotel dengan selamat dan menghubungi Mr.Hans. Sonia mengingat
kembali lelaki yang menatapnya lama di dermaga sebelum ia turun dari kapal.
Seingatnya lelaki itu menggunakan jaket coklat, dengan ditutupkan penutup
kepalanya. Ia seperti mengenalnya tapi lupa yang jelas ia begitu misterius.
Selama
dua minggu tinggal di hotel, kini Sonia telah berpindah di Surry Hills yang
situasinya lebih terasa dalam bermasyarakat dengan penuh budayanya. Selama
tinggal di Surry Hills, Sonia juga tidak meminta Mr.Hans untuk menjemputnya
lagi. Dia mulai mandiri untuk kemana-mana, meski masih mendapat akomodasi dari
David, Sonia juga melakukan pekerjaan freelance menulis artikel dengan upah
AUD$40/ artikel. Tidak besar tapi ia puas jika melakukan sesuatu. Belum enam
bulan Sonia merasa telah mendapatkan bonus-bonusnya. Menjelajahi kota itulah
bonus yang ia harapkan tanpa dikawal seseorang. Toh, dia merasa bukan anak
menteri atau presiden yang melakukan kunjungan ke Australia. Dia bisa melakukan
segala sesuatunya sendiri meski berbahasa inggrisnya tidak begitu fasih. Tapi
itu bukan masalah, bertemu banyak orang Indonesia di kota tersebut menjadi
anugerah tersendiri baginya. Kini, satu mimpinya tercapai dan masih banyak lagi
mimpi-mimpi yang masih tersimpan.
Hari-hari
berjalan di Sydney tanpa menemui halangan, hubungan dengan David pun sekarang
menjadi seperti teman bukan lagi atasan dan bawahan—tentu editor diatas penulis
posisinya. Mereka juga sempat makan siang bersama atau hanya sekedar menikmati
kopi di sebuah café. Sonia telah menghabiskan waktu dua bulan di Sydney dan
semua urusannya berjalan lancar. Ia mulai membiasakan diri hidup seperti
orang-orang lokal. Sesekali ia juga pergi dengan menggunakan kereta listrik,
tapi ia mulai menyadari kenikmatannya. Memang sangat efisien waktu tapi tidak
pemandangan. Kereta terlalu cepat untuk melihat apa yang ada dibalik jendela
karena tidak mungkin seseorang akan langsung jatuh cinta pada sebuah objek
hanya dalam hitungan 0,5 detik. Ia pun memutuskan untuk menggunakan jasa kapal
feri lagi demi efisiensi keindahan. Tentunya akan sangat puas untuk menikmati
keindahan itu—termasuk jejak kapal feri yang sangat cepat hilang.
Suatu
siang yang hangat Sonia berdiri di depan Sydney Opera House menghadap ke Sydney
Harbour Bridge. Ia menikmati pemandangan air, kapal feri dan matahari yang
berpadu menjadi satu keindahan. Sesaat kemudian telephone-nya berdering,
panggilan dari Mr.Hans kepada Sonia. Ia menanyakan dimana posisi Sonia saat itu
dan akan segera menjemputnya. Sonia pun menjawab seadanya.
Beberapa
saat kemudian, Sonia dan Mr.Hans berada disebuah kantor, bukan kantor biasa ia
bertemu dengan David tetapi seperti kantor penerbitan atau media. Ia masuk ke
dalam ruangan dan telah ada tiga orang yang menunggunya termasuk David. Kedua
orang- satu pria dan satu wanita meninggalkan ruangan dan hanya ada Sonia dan
David. Raut wajahnya tampak serius dan Sonia bingung. David memintanya duduk
dan memulai percakapan. “Sebelumnya, kami mohon maaf Sonia bahwa dengan
terpaksa kontrak ini kami putuskan dan anda memiliki waktu tiga hari untuk
menyelesaikan urusan anda disini sebelum meninggalkan Sydney.”
Badai
apa ini? Sonia benar-benar bingung apa yang terjadi. Baru saja ia mendapatkan
surga terbang ke awan, di langit cerah Sydney kemudian tiba-tiba ia diberi
neraka yang dalam kemudian jatuh ke jurang neraka paling dasar. Sonia berpikir
apakah kontrak diputus karena ia bekerja freelance pada perusahaan lain tanpa
sepengetahuan David atau karena ia menolak aturan untuk tinggal sesuai tempat
yang telah ditetapkan? Ia sangat terpukul, dengan bergetar ia bertanya apa yang
terjadi pada David.
“Sonia,
naskah novel anda disangka banyak memplagiat dari sebuah novel yang telah
terbit lebih dulu di Indonesia. Kami tidak bisa melanjutkan proses penerjemahan
ini,” ungkap David dengan rasa bersalah.
Plagiat!
Tidak ada kata itu dalam kamus Sonia apalagi melakukan. Ini pasti ada yang
salah atau seseorang telah mencuri naskahnya kemudian menyadurnya. Sehingga
seolah-olah Sonia yang telah melakukan plagarisme. Ia harus meluruskan semua
ini. Bagaimana bisa seorang penulis yang menulis dengan idenya sendiri disangka
plagiator? Lagi pula, bagaimana bisa seorang editor tidak memastikan lebih
dahulu keaslian naskah tersebut sebelum dipinang menjadi novel yang baru. Jika
pun sudah dan naskah Sonia benar-benar hasil plagiat maka itu akan terungkap
sebelum tuan editor meminangnya. Dan bagaimana bisa seorang plagiator diundang
ke Sydney dengan segala fasilitasnya selama satu tahun untuk sebuah projek?
~Bersambung_To
be Continue~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar