Minggu, 18 Juni 2017

Orange in Sydney (Part 1)

ilustrasi


“Di dunia ini, tempat apa dan dimana yang ingin kau kunjungi,?” tanya seorang pria berbadan atletis yang duduk disamping seorang wanita di sudut kota kala senja.
                Sembari menghirup kopi hangat dalam cangkirnya wanita itu membalas,
“Aku? Tentu aku ingin dan akan pergi ke Sydney, New South Wales, Australia. Bagaimana denganmu,?”
                “Aku ingin berada pada sebuah sore di pantai Copacabana, Rio De Janeiro dan terinspirasi sebuah novel berjudul “Eleven Minutes” karya Paulo Coelho, maka aku ingin menghabiskan sebelas menitku bersama Maria, si tokoh wanita dalam novel itu.” Balasnya sambil tersenyum. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan di Sydney? Apa yang menarik disana?”
                “Oohh Maria si wanita pura-pura dalam sebelas menitnya itu? Tentu itu hanya imajinasimu saja. Mana mungkin orang melakukan hanya dalam waktu sebelas menit? Tapi ku pikir, kau sangat cocok berada disana, tubuhmu atletis dan wajahmu eksotis. Tidak sepertiku, itulah sebabnya aku memilih Sydney,” jawab si wanita itu. Kemudian ia melanjutkan, “Benar aku menyukai pantai sepertimu, tapi bukan pantai yang sangat panjang seperti Copacabana. Perairan di Sydney cukup berhasil membuatku jatuh cinta, kota dengan banyak teluk dan kapal feri. Aku bisa menjelajahi setiap sudut kota Sydney dengan kapal feri berlayar menuju satu dermaga ke dermaga yang lainnya dan berharap aku akan berhenti pada dermaga terakhir yang memaksaku untuk berhenti.”
                “Imajinasimu tidak natural aku bisa membaca pikiranmu bahwa kamu berharap ada seorang Sydneysider kaya raya dengan kapal pesiar-nya berhenti di sebuah dermaga untuk menjemputmu,” tandas si lelaki itu.
                “Ah sial! Pintar benar kau ini. Ya tentu tapi aku akan menikmati Pantai Bondi, Manly atau hanya sekedar menikmati jejak kapal feri yang melintas di depan Sydney Opera House menuju Sydney Harbour Bridge.”
                “Memangnya kau bisa berselancar,?” potong lelaki itu.
                “Tentu tidak! Aku hanya akan menikmati pasir dan pemandangan disana jika tidak aku hanya akan menghirup koktail di atas kolam karang Icebergs.”
                “Dan tentu dipikiranmu kau berharap ada seorang pria berpura-pura mengenalimu kemudian mengajakmu menghirup kopi disebuah cafe lalu pembicaraan kalian semakin dalam,”
                “Sebenarnya sangat banyak bayanganku tentang Sydney dan apa yang akan terjadi disana. Mungkin ucapanmu itu ada benarnya juga 50 persen.” Wanita itu mengakhiri kemudian menghirup sisa kopinya yang hampir dingin. Sambil menepuk pundak si lelaki itu dan berlalu meninggalkan tempat itu.
*****
                Sudah lima tahun yang lalu Sonia bertemu dengan Hendrik, sahabat baiknya meski kadang memberi nasehat yang cukup pahit. Tidak ada kabar lagi darinya, usianya hampir mendekati 30 tahun sedangkan Sonia berada di batas maksimal targetnya—26 tahun. Belum lagi keinginannya pergi ke Sydney tercapai, urusannya di Indonesia tak kunjung selesai. Lagi-lagi ia menuduh Hendrik tak setia lagi menjadi sahabatnya karena telah meninggalkannya tanpa berkomunikasi dengannya satu kali pun. Apakah dia sedang berada di pantai Copacabana dan menghabiskan sebelas menitnya dengan seorang wanita seperti Maria?
                Ia selalu melihat handphone-nya meski ia tahu tidak ada yang menghubungi dirinya. Kemudian menatap kembali ke layar komputernya. Belum ada satu katapun yang berhasil ia tuliskan biasanya beberapa kalimat telah ia tuliskan meski harus berhenti berpuluh-puluh menit karena terkuncinya ide didalam pikirannya. Dia mulai menyerah dan mengalihkan pandangannya pada tumpukan kertas, sesaat kemudian telephone genggamnya berdering. Sebuah video call Whatsapp masuk dengan kode negara bukan Indonesia. Tanpa berpikir panjang Sonia mengangkatnya dan menemui gambar seorang laki-laki yang telah lama ia rindukan.
                “Hendrik!” teriak Sonia.
                “Ya. Ini aku bagaimana kabarmu? Kapan kau akan ke Sydney?” Tanya Hendrik.
                “Entahlah, aku berharap secepatnya. Kau dimana?”
                “Lihat Sonia, aku berada di pantai Copacabana sekarang,” sambil memutar handphone-nya mengarahkan ke segala penjuru pantai. Kemudian saat muncul diwajah Hendrik ia telah bersama seorang wanita. “Sonia. Maaafkan aku tidak menghubungimu selama ini, aku baru tiba di Brazil enam bulan yang lalu dan apa yang telah terjadi disini, aku berharap kau mendengarkan ceritaku saat aku pulang nanti. Lihat! Aku akan menikah disini dan ini Monica, satu-satunya kandidat istriku,” jelas Hendrik sambil tersenyum senang dan Monica menyapa Sonia kemudian menghilang dari layar handphone-nya.
                Tampak banyak perubahan yang terjadi pada Hendrik--kulitnya menjadi lebih gelap dan badanya bertambah atletis. Sangat cocok dengan seorang wanita bernama Monica, semua akan mengatakan bahwa ia cantik dan eksotis layaknya gadis Brazil kebanyakan. Tapi soal pernikahan, rasanya ada yang mengganjal dihati Sonia. Mungkinkah ia menyimpan rasa selama ini pada Hendrik? Entahlah. Ia tak berani berpikir seperti itu. Saat ini, yang ia pikirkan adalah bagaimana ia meninggalkan Indonesia secepatnya. Ia tak mau lagi mimpinya tertunda-tunda. Perhatiannya beralih lagi pada urusan hendrik lagi.
                “Kau bertemu wanita itu seolah Maria dalam novel itu dan sebelas menitmu membawa cinta,?” Tanya Sonia sedikit menunjukkan kekesalan pada Hendrik.
                “Hahaha, tidak Sonia. Tapi hampir mirip. Aku bertemu di sebuah kelab malam dan menghabiskan malam bersama tapi benar katamu, sebelas menit tidaklah cukup sehingga aku harus melanjutkan selama sisa hidupku,”
                “Ah! Benar saja. Kau sudah gila rupanya. Kau yakin dengan wanita itu,?” tanya Sonia meragukan.
                “Tentu. Bagaimana dengan urusanmu di Indoensia?”
                “Lihat ini,” sambil mengarahkan kamera depannya kearah tumpukan kertas-kertas diatas mejanya. “Naskah-naskah cerpen, puisi dan dua novelku tidak diterima penerbit. Aku tidak tahu kenapa penerbit sekarang menerapkan standar yang tinggi untuk sebuah naskah. Mungkin, mereka tidak ingin memberatkan editor,” jawab Sonia ketus.
                “Itu hal biasa dalam kepenulisan Sonia. Kamu sebagai penulis tugasmu menulis saja. Katamu saat kamu menulis atau membaca kecantikanmu bertambah. Ingat itu Sonia?”  Hendrik menasehati.
                Ya! Sonia merasa kecantikannya bertambah saat menulis atau membaca. Itu semua disebabkan karena aliran darah mengalir deras karena bersemangat dan hormon bahagia muncul sehingga aliran darah di wajah tidak kekurangan. Entah itu teori dari mana tapi Sonia merasakan begitu. Setelah berbicara panjang dengan Hendrik, Sonia mulai menulis kata demi kata hingga tersusun sebuah paragraph sampai berpuluh-puluh paragraph. Kemudian terlintas dibenaknya untuk menerjemahkan naskahnya kedalam bahasa inggris. Gila! Mungkinkah Sonia memiliki kapasitas dalam hal penerjemahan?
                Suatu siang yang cukup panas membuat Sonia malas untuk beranjak dari ruangannya. Sonia membuka surelnya dan menemukan sebuah pesan dari alamat surel yang tidak ia kenali. Dalam surat itu menyatakan bahwa salah satu novel Sonia mendapat kesempatan untuk terbit di beberapa kota di Australia salah satunya adalah Sydney. Seorang editor asal Sydney meminta izin Sonia untuk menerjemahkan naskah tersebut dan menintanya untuk datang ke Sydney secepatnya. Bintang, kupu-kupu seolah-olah berterbangan didalam perutnya. Rasa bahagia mendengar kabar ini melebihi kebahagiaan seorang yang sedang jatuh cinta. Secepatnya ia membalas surel itu dan memberikan kontaknya. Dia berpikir, darimana editor itu mendapatkan naskah novelnya? Ah! Mungkin penerbit yang menolaknya. Terima kasih kalau begitu.
                Sonia mencari namanya di papan penanda yang dibawa orang-orang yang telah menunggu di depan pintu kedatangan. Ini kedua kalinya Sonia keluar negeri setelah yang pertama kali ke Singapura untuk sekedar berlibur. Kedatangannya di Sydney sudah pasti soal karirnya sebagai seorang penulis tapi tak menutup kemungkinan ia mendapatkan bonus-bonusnya termasuk bertemu seorang pangeran seperti yang diimpikannya. Ia menangkap namanya di selembar kertas yang dibawa seorang lelaki paruh baya yang Sonia pikir adalah editor itu sendiri. Sonia menghampiri lelaki itu dan memperkenalkan namanya, “Sonia Nowan” sambil menyalami pria dengan tubuh besar itu—Hans atau lebih pantasnya Mr.Hans.
                Sonia dan Mr.Hans memasuki mobil yang telah menunggu di depan pintu utama bandara. Mereka akan mengantar Sonia ke penginapan sementara sebelum nantinya ia akan ditempatkan disebuah apartment yang disediakan si Editor. Tak tanggung-tanggung, Sonia akan tinggal di Sydney selama satu tahun. Baginya itu waktu yang cukup lama hanya untuk berdiskusi soal novelnya. Selama satu tahun itupun Sonia akan merasa cukup untuk menjelajahi tiap-tiap sudut kota Sydney dan menemukan banyak hal-hal baru yang mungkin bisa membuat produktivitasnya dalam menulis meningkat. Di dalam mobil Sonia bertanya apakah pria yang menjemputnya tadi adalah sang editor itu. Ternyata bukan, ia adalah tangan kanan si editor itu. “Jadi bagaimana bisa tuan David Brown mengetahui novel saya,?” tanya Sonia penuh rasa penasaran. Sambil membenarkan jas yang dikenakan, Mr.Hans menjawab, “Itu bukan kapasitas kami untuk mengetahuinya nona. Besok pagi nona ada pertemuan dengan Mr.Brown untuk membahas kelanjutan novel nona,”
                Sonia benar-benar seperti bermimpi telah berada di Sydney, ia menikmati perjalanan itu. Kebetulan saat dia tiba di Sydney adalah pada musim panas dengan suhu 20,6° Celcius—suhu yang tepat untuk Sonia karena badannya yang kecil rasanya belum siap menemui musim dingin dengan suhu lebih rendah dari itu. Sonia akan menginap selama satu minggu atau lebih di Sydney Harbour Marriott Hotel yang berada di Circular Quay. Dia tak membanyangkan berapa akomodasi yang telah ia habiskan di Sydney selama satu tahun dengan fasilitas yang mewah ini. Jika dirupiahkan, mungkin saja sudah bisa untuk membeli rumah dikawasan mewah di Indonesia. Jangankan satu tahun, biaya hidup di Sydney selama satu bulan sangat cukup untuk membayar uang muka rumah tipe 80 di Indonesia. Sonia, mendapatkan itu semua dengan cuma-cuma. Benarkah ia telah menjadi Cinderella atau akan menjadi Cinderella selama satu tahun? Tidak tahu. Dia hanya akan menjalani kehidupannya dalam satu tahun ke depan di Sydney—kota impiannya. “Ms.Nowan, anda bisa menghubungi nomor yang terletak diatas meja ini jika membutuhkan sesuatu,” kata Mr.Hans menyadarkan lamunan Sonia. “Terima kasih Mr.Hans,”
                Sonia merebahkan tubuhnya di kasur dan membuka handphone-nya kemudian memasangkan kartu seluler lokal yang telah dibelinya. Ia mencoba menghubungi Hendrik yang katanya hari ini adalah pernikahannya bersama Monica—gadis Brazil yang ia temui di Pantai Copacabana. Ya benar saja Hendrik membalas pesan Sonia dengan mengirim beberapa foto pernikahannya. Sonia turut bahagia dan berharap bisa menghadiri acara itu. Ia berjalan menuju jendela dan membuka tirainya. Pemandangan yang luar biasa—kota teluk dengan banyak kapal feri yang lalu lalang di depan Sydney Opera House dengan meninggalkan jejak diatas air yang cepat menghilang. Memandang dari balik jendela, Sonia berharap ingin segera menjelajahi kota dengan kapal feri berlayar dari dermaga satu ke dermaga lainnya. Satu yang harus ia kerjakan sekarang adalah bekerjasama dengan pihak-pihak yang akan menerjemahkan novelnya dalam waktu enam bulan, waktu yang tersisa semoga benar-benar bonus.
                Keesokan harinya Mr.Hans telah menjemput Sonia untuk menemui David Brown di kantornya. Sonia memanfaatkan peluang bersama Mr.Hans untuk mencari informasi tentang Sydney dan bagaimana kehidupan di Sydney. Sonia orang yang sangat aktif bertanya meski pada orang yang baru dikenalnya. Itu sebuah keseharusan baginya mengingat ia seorang diri di kota ini dan tentu ia tidak akan banyak merepotkan Mr.Brown sebagai penanggung akomodasinya. Sesampainya di kantor, Sonia diminta untuk menunggu di suatu ruangan. Ia membayangkan apa yang akan dibicarakan dengan Mr.Brown? Benar nama David Brown tidak menunjukkan bahwa ia orang Indonesia lantas mengapa ia bersedia menjadi editor dan salah satu dari tim penerjemaahan novelnya sekaligus membantu dalam penerbitannya? Jika pun bukan orang Indonesia ia juga tidak bermaksud meremehkan kemampuannya dalam memahami isi novel tersebut. Sonia mulai gundah. Lamunannya tersadar saat seseorang masuk dan menyapanya. “Nona Nowan?” Tanya seorang pria berbalut jas warna hitam lengkap dengan segala atributnya yang membuat dirinya tampak perlente. Sonia menjawab dengan gugup sambil berdiri dan menyalami pria itu, “David Brown” ucap pria itu dengan tegas.
                Hanya ada keduanya di dalam ruangan itu, Sonia berpikir kenapa penerjemah tidak diikutkan dalam pertemuan ini. Ia memberanikan diri untuk memulai percakapan dengan sebuah pertanyaan, “Excusme, Mr.Brown, is there anyone else we should wait,?” Mr.Brown menatap Sonia dan duduk di depannya sambil menjawab, “Tidak ada, hanya kita berdua.” Sonia terkejut bahwa pria berusia 30 tahun itu ternyata berbicara Bahasa Indonesia. Sebelum Sonia melontarkan pertanyaan lain, Mr.Brown memulai pada topick pembicaraan.
                “Saya, editor sekaligus sebagian besar penerjemah novel anda nona Nowan,” ucapnya sambil tersenyum.
                Masih dengan perasaan gugup Sonia mengucapkan terima kasih atas apa yang telah Mr.Brown berikan padanya. Ia juga meminta setelah satu minggu menginap di hotel, untuk pindah ke lokasi yang lebih sederhana, mungkin di Surry Hills atau Suburb area di Maroubra. Setidaknya dia bisa berjalan menikmati kebebasan dan bertemu dengan orang-orang baru.
                Pertemuan tersebut menghabiskan waktu selama dua jam. Waktu yang cukup untuk membuat Sonia mudah akrab dengan orang baru. Hal itu penting juga untuk melancarkan urusannya. Sonia berpamitan dengan Mr.Brown tetapi tiba-tiba pria itu mendekat dan berkata, “Nona Nowan, anda tidak perlu memanggilku tuan, panggil saja David. Anggap saja kita kawan lama,” Sonia terkejut dan membalas, “ooh baik Mr.Brown, ah maksudku David, ya David.”
                Sonia menghentikan langkah Mr.Hans yang berjalan didepannya menuju mobil yang telah terparkir. Ia meminta untuk menunjukkan bagaimana untuk kembali ke hotel dengan menggunakan kapal feri. Sebenarnya Mr.Hans tidak menyetujui karena Sonia masih dalam ikatan kontrak hubungan kerja, oleh karenanya ia takut jika terjadi apa-apa dengan Sonia. Tapi pintarnya Sonia bernegoisasi membuat Mr.Hans member izin untuk kembali ke hotel tanpa ia temani.
                Ini kali pertama Sonia menaiki kapal feri di Sydney. Ia memulai penjelajahannya dari satu dermaga ke dermaga lain hari itu. Meskipun transportasi di kota tersebut cukup rumit bagi pendatang baru seperti Sonia, toh ia akhirnya bisa kembali ke hotel dengan selamat dan menghubungi Mr.Hans. Sonia mengingat kembali lelaki yang menatapnya lama di dermaga sebelum ia turun dari kapal. Seingatnya lelaki itu menggunakan jaket coklat, dengan ditutupkan penutup kepalanya. Ia seperti mengenalnya tapi lupa yang jelas ia begitu misterius.
                Selama dua minggu tinggal di hotel, kini Sonia telah berpindah di Surry Hills yang situasinya lebih terasa dalam bermasyarakat dengan penuh budayanya. Selama tinggal di Surry Hills, Sonia juga tidak meminta Mr.Hans untuk menjemputnya lagi. Dia mulai mandiri untuk kemana-mana, meski masih mendapat akomodasi dari David, Sonia juga melakukan pekerjaan freelance menulis artikel dengan upah AUD$40/ artikel. Tidak besar tapi ia puas jika melakukan sesuatu. Belum enam bulan Sonia merasa telah mendapatkan bonus-bonusnya. Menjelajahi kota itulah bonus yang ia harapkan tanpa dikawal seseorang. Toh, dia merasa bukan anak menteri atau presiden yang melakukan kunjungan ke Australia. Dia bisa melakukan segala sesuatunya sendiri meski berbahasa inggrisnya tidak begitu fasih. Tapi itu bukan masalah, bertemu banyak orang Indonesia di kota tersebut menjadi anugerah tersendiri baginya. Kini, satu mimpinya tercapai dan masih banyak lagi mimpi-mimpi yang masih tersimpan.
                Hari-hari berjalan di Sydney tanpa menemui halangan, hubungan dengan David pun sekarang menjadi seperti teman bukan lagi atasan dan bawahan—tentu editor diatas penulis posisinya. Mereka juga sempat makan siang bersama atau hanya sekedar menikmati kopi di sebuah cafĂ©. Sonia telah menghabiskan waktu dua bulan di Sydney dan semua urusannya berjalan lancar. Ia mulai membiasakan diri hidup seperti orang-orang lokal. Sesekali ia juga pergi dengan menggunakan kereta listrik, tapi ia mulai menyadari kenikmatannya. Memang sangat efisien waktu tapi tidak pemandangan. Kereta terlalu cepat untuk melihat apa yang ada dibalik jendela karena tidak mungkin seseorang akan langsung jatuh cinta pada sebuah objek hanya dalam hitungan 0,5 detik. Ia pun memutuskan untuk menggunakan jasa kapal feri lagi demi efisiensi keindahan. Tentunya akan sangat puas untuk menikmati keindahan itu—termasuk jejak kapal feri yang sangat cepat hilang.
                Suatu siang yang hangat Sonia berdiri di depan Sydney Opera House menghadap ke Sydney Harbour Bridge. Ia menikmati pemandangan air, kapal feri dan matahari yang berpadu menjadi satu keindahan. Sesaat kemudian telephone-nya berdering, panggilan dari Mr.Hans kepada Sonia. Ia menanyakan dimana posisi Sonia saat itu dan akan segera menjemputnya. Sonia pun menjawab seadanya.
                Beberapa saat kemudian, Sonia dan Mr.Hans berada disebuah kantor, bukan kantor biasa ia bertemu dengan David tetapi seperti kantor penerbitan atau media. Ia masuk ke dalam ruangan dan telah ada tiga orang yang menunggunya termasuk David. Kedua orang- satu pria dan satu wanita meninggalkan ruangan dan hanya ada Sonia dan David. Raut wajahnya tampak serius dan Sonia bingung. David memintanya duduk dan memulai percakapan. “Sebelumnya, kami mohon maaf Sonia bahwa dengan terpaksa kontrak ini kami putuskan dan anda memiliki waktu tiga hari untuk menyelesaikan urusan anda disini sebelum meninggalkan Sydney.”
                Badai apa ini? Sonia benar-benar bingung apa yang terjadi. Baru saja ia mendapatkan surga terbang ke awan, di langit cerah Sydney kemudian tiba-tiba ia diberi neraka yang dalam kemudian jatuh ke jurang neraka paling dasar. Sonia berpikir apakah kontrak diputus karena ia bekerja freelance pada perusahaan lain tanpa sepengetahuan David atau karena ia menolak aturan untuk tinggal sesuai tempat yang telah ditetapkan? Ia sangat terpukul, dengan bergetar ia bertanya apa yang terjadi pada David.
                “Sonia, naskah novel anda disangka banyak memplagiat dari sebuah novel yang telah terbit lebih dulu di Indonesia. Kami tidak bisa melanjutkan proses penerjemahan ini,” ungkap David dengan rasa bersalah.
                Plagiat! Tidak ada kata itu dalam kamus Sonia apalagi melakukan. Ini pasti ada yang salah atau seseorang telah mencuri naskahnya kemudian menyadurnya. Sehingga seolah-olah Sonia yang telah melakukan plagarisme. Ia harus meluruskan semua ini. Bagaimana bisa seorang penulis yang menulis dengan idenya sendiri disangka plagiator? Lagi pula, bagaimana bisa seorang editor tidak memastikan lebih dahulu keaslian naskah tersebut sebelum dipinang menjadi novel yang baru. Jika pun sudah dan naskah Sonia benar-benar hasil plagiat maka itu akan terungkap sebelum tuan editor meminangnya. Dan bagaimana bisa seorang plagiator diundang ke Sydney dengan segala fasilitasnya selama satu tahun untuk sebuah projek?
~Bersambung_To be Continue~

Tidak ada komentar: