Selasa, 20 Juni 2017

Orange in Sydney (Part 2)


ilustrasi


                Mendekati musim gugur suhu udara menjadi lebih rendah dari saat pertama kali Sonia tiba di Sydney. Betapapun akan menjadi lebih dingin, ia tak akan
merasakan dinginnya perubahan suhu dalam tiga hari terakhirnya di Sydney. Waktu akan terasa berjalan sangat cepat pikirnya, petualangannya di Sydney semakin mendekati akhir. Nanti, waktu mungkin akan berjalan sangat lambat ketika dimensinya berubah dalam pikirannya. Kembali ke Indonesia dengan rutinitas yang tidak lagi jelas, bukan lagi menjadi staff akuntansi di salah satu kantor di Jakarta. Berbisnis jelas bukan karakternya, Sonia gadis yang sangat tidak perhitungan, kurang konsisten dan memang karena sulit membangun niat dalam dirinya. Ia juga tidak memiliki bakat khusus yang dapat menjamin masa depannya, dalam bidang musik ia hanya bisa bermain sedikit gitar dan piano tentu sebuah band tidak akan menerimanya. Jika ia mau, ia bisa bergabung dalam sebuah agency model dengan memanfaatkan wajahnya yang polos, badan tinggi dan langsing atau bekerja di bidang hospitality disebuah hotel, tentu itu akan cocok dengan sifatnya yang ramah dan peduli terhadap orang lain. Tetapi, ia belum sampai berpikir pada tahap itu, yang akan ia lakukan dalam tiga hari ini adalah menyelesaikan segalanya di Sydney sebelum ia pulang ke Indonesia. Di Indonesia, ia tidak akan tinggal diam perihal dicurinya hasil intelektual yang ia miliki oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Ia akan cari novel siapa yang dianggap sama dengan miliknya, dari segi apa? Jika susunan kalimat dan plotnya bahkan sama, tentu yang ia tuduh pertama kali adalah pihak penerbit yang kurang terkenal dan telah menolak novelnya. Harusnya ia tidak asal-asalan memilih penerbit—maklum lah penulis pemula.
                Meski ia telah mencoba berdamai dengan apa yang sedang terjadi, perasaan kehilangan akan banyak hal selalu berada dibenaknya. Senja di Sydney Harbour Bridge, burung-burung yang hinggap di sisi-sisi Sydney Opera House dan jejak-jejak kapal feri yang menciptakan keindahan tersendiri bagi Sonia, tak akan lagi ia temui. Sekarang, ia berharap salju jatuh di Sydney dan semua itu hilang begitu saja, tapi itu mustahil atau kali ini ia berharap dalam tiga hari kedepan ia bertemu dengan pengusaha kaya dan dijadikan Sonia sebagai Cinderellanya. Tiba-tiba ia ingat Hendrik, ingin menelphonenya tapi takut sedang bersama istrinya. Baiklah ia memberanikan diri untuk menelephone Hendrik.
                Ia mencari nomor Hendrik dan menekan simbol kamera—video call. Sesaat kemudian ia menemui wajah Hendrik di layar telephone genggamnya. Ia menyapa dan menanyakan kabar Sonia. Sonia dengan wajah yang sedih menceritakan apa yang sedang terjadi.
                “Novelku diplagiat seseorang dan David mengira aku yang memplagiat novelku sendiri dan dalam waktu tiga hari aku harus segera meninggalkan Sydney. Apa yang harus kulakukan Hendrik?”
                “Bagaimana bisa? Kau hanya mengirim naskahmu ke penerbit mungkin ada seseorang yang mencuri filemu saat kau serahkan ke penerbit. Sonia jangan sedih ini hanya badai sedang seperti angin musim gugur.”
                Angin musim gugur di Sydney memang tergolong ringan jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa atau Amerika, tapi ini persoalan yang tidak bisa disamakan dengan angin. Apa yang akan ia katakan pada ibunya jika tiba-tiba pulang ke Indonesia hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan, jauh dari rencana—satu tahun. Ibu Sonia sangat bangga anak semata wayangnya bisa mengejar mimpinya di Sydney. Petuah dari ibunya lah Sonia berani memutuskan segala hal. Pernah suatu hari ia bercakap-cakap dengan ibunya soal masa depan.
                “Kamu dulu itu lahir dikala senja, ayahmu melihat langit kala itu benar-benar orange dan merah terang. Ibu selalu membelikanmu baju warna orange karena warna itu symbol  petualangan dan optimisme. Ibu berharap dari petualangan itu kamu bisa menemukan kebahagiaanmu.” begitulah petuah ibunya.
                Sonia memang tidak betah jika harus berada di zona aman. Ia akan selalu mencari celah untuk menemukan hal-hal baru. Meski hanya dengan menulis, toh ia bisa sampai ke Sydney meski hanya beberapa minggu.
                Sore ini ia akan bertemu dengan David di Watsons Bay untuk makan malam. Ia tak melihat kebencian terhadap dirinya karena disangka memplagiat. Mungkin David juga merasa bersalah karena hal ini baru terungkap dan ini cara permintaan maafnya. Sonia segera bersiap-siap, cukup dengan jeans, jaket sedikit tebal dan sepatu booth untuk melindungi tubuhnya yang ramping dari angin yang dingin. Segera ia meraih tas kecilnya dan berjalan keluar ruangan sambil menarik napas dalam.
                Sesampainya di Watsons Bay ternyata David telah menunggu di sebuah meja lengkap dengan seafood dan wine sebagai pelengkap dinner. Ia merasa aneh dengan David, seorang editor dan penerjemah mampu menyediakan segala kemewahan di kota termahal di Australia ini. Sonia berpikir mungkin dulu hidupnya menderita sehingga ia sekarang hanya tinggal menikmati. Tak pentinglah bagi Sonia, yang paling penting ia menyelesaikan makan malamnya bersama lelaki yang nampak bak seorang pangeran.
                “Tinggallah disini sampai kontrakmu habis,” pinta David sambil meletakkan gelas winenya. Sonia hampir tersedak wine dan berusaha menelan yang masih tersisa dimulutnya. Ia sedikit terbatuk dan menyentuh bibirnya dengan jarinya, David hanya memerhatikan itu.
                “Bagaimana bisa? Novelku disangka plagiat dan waktuku tinggal dua hari lagi. Lagipula Mr.Hans sudah memberikanku tiket pulang,” jawab Sonia.
                “Sudah ku batalkan tiket itu. Habiskan waktumu disini sampai kau menemukan apa yang kau cari dan lupakan saja novelmu, buat novel yang baru disini,” saran David sedikit memaksa.
                Lupakan katamu batin Sonia. Bagaimanapun juga itu karya yang telah ia ciptakan dengan segala kemampuannya. Ia tak bisa membiarkan begitu saja meski ditawar dengan permintaan David itu.
                “Itu seperti mengkhianati diriku sendiri David, aku melupakan apa yang aku ciptakan. Aku harus tetap pergi ke Indonesia dan mencari tahu siapa yang melakukan itu,” sergah Sonia.
                “Itu semua tidak ada gunanya Sonia, jelas-jelas novel itu sudah terbit beberapa bulan yang lalu. Lakukan petualanganmu disini”
                Sonia berpikir sejenak, benar juga apa yang dikatakan David, tidak ada gunanya. Tapi tentu ia tidak rela novelnya diambil orang begitu saja. Lalu, Sonia menerima permintaan David untuk bersedia menghabiskan kontraknya. Sambil tersenyum dan menatap lelaki itu, Sonia berkata ‘yes’ dan David membalas senyumannya.
                “Ini sudah malam, baiknya aku antar saja dari pada naik kapal lagi toh hanya sedikit yang bisa dilihat saat malam begini,” saran David. Mau tak mau Sonia menyetujuinya dan menaiki mobil David sampai-sampai ia tertidur pulas di dalam mobil sampai di apartmentnya. David tak mampu membangunkan gadis itu, saat tertidur wajah Sonia benar-benar sangat polos tapi berwarna penuh mimpi. Kemudian, David meraih tas Sonia dan mencari kunci apartmentnya. Ia membopong Sonia masuk kedalam apartment dan membaringkan tubuhnya di atas kasur secara perlahan. Sesaat kemudian tubuhnya menggeliat dan terbangun, ia terkejut sudah berada didalam kamarnya. Ia mengalihkan pandangan ke lelaki yang berdiri disamping ranjangnya. Sambil mengusap rambut Sonia, David tersenyum dan mengucapkan selamat malam.
                Hari-harinya kali ini, ia mencoba menulis novel yang baru dengan tema-tema yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Ia hampir setiap hari juga bertemu David. David memperlakukan Sonia dengan sangat baik meski bagi Sonia, David tetaplah lelaki misterius yang tidak pernah menjawab soal masalah pribadinya dan soal siapa yang memberinya naskah novel Sonia. Meski demikian, Sonia mulai merasa ada yang salah dengan perasaannya. Benarkah ia mencintai David? Ralat, menyukai? Tentu dia menyukai, jika tidak, ia tidak akan merasa senyaman ini selalu bersamanya. Untuk mencintainya, mungkin cinta akan muncul seiring berjalannya waktu.
                Tiga bulan berjalan, segala kendala selalu terlewati tanpa kesulitan itu karena ada peran David. Lama-lama ia telah melupakan novel yang dicuri oleh seseorang dan menyelesaikan novel barunya yang akan terbit di Sydney dan kota-kota sekitarnya. Ia tidak sabar namanya akan berada di toko-toko buku di Sydney dan karyanya akan dibaca tidak hanya orang Indonesia. Telephone genggamnya berdering, panggilan dari David. Secepat mungkin ia menjawab panggilan itu dan menyapanya. Tak membalas sapaan dari Sonia, David berkata, “Persiapkan dirimu besok pagi, sebuah media di Sydney akan mengundangmu untuk melakukan wawancara,” kemudian menutup telephone-nya tanpa menunggu jawaban dari Sonia. Wawancara? Dalam rangka apa? Ia sama sekali tak paham. Ia bukan penulis terkenal atau seorang selebritis sensasional di Sydney. Ia akan menanyakan pada David keesokan harinya.
                Pagi-pagi sekali Mr.Hans telah datang ke apartment Sonia dengan membawa seorang wanita. Wanita itu memberikan sebuah gaun dan sepatu yang sangat elegan. “Ini permintaan Mr.David nona, anda harus menggunakan ini. Mari saya bantu.” Kata wanita itu sambil tersenyum.
                Sonia tampak cantik menggunakan gaun yang melekat pada tubuhnya yang ramping. Mr.Hans mengarahkannya untuk menuju mobilnya dan mengantarkan kesebuah rumah dikawasan mewah. Ia tak tahu rumah siapa itu tetapi David telah menunggu di sebuah ruangan dengan pemandangan langsung ke pantai.
                “Kau sangat cantik Sonia, silakan duduk,”
                “Mengapa aku disini? Kau bilang,?” tanya Sonia penuh kebingungan.
                “Ya, aku meminta untuk melakukannya disini. Sebenarnya nanti kau hanya perlu menjelaskan bahwa kau tidak melakukan plagiat,”
                “Apa? Bagaimana bisa begitu? Aku tidak ada bukti.”
                “Novelmu yang disangka plagiat sebenarnya telah terbit dua bulan lalu di Sydney, Melbourne dan Canbera dan terjual lebih dari yang sudah diperkirakan.” Ia melanjutkan, “Seseorang telah menyelidiki kasus itu di Indonesia dan ternyata seseorang yang memplagiat novelmu. Seseorang mencurinya saat editor penerbit yang kamu tuju sedang keluar tanpa menutup komputernya, dan inilah hasilnya.” Jelas David.
                Sonia terharu dan benar-benar ingin menangis bahagia mendengar kabar itu. “Tetapi, siapa orang yang menyelidiknya itu,?” tanya Sonia penasaran. “Nanti kau akan tahu,” jawab David singkat.
                Sonia tampak sedikit grogi saat seorang wartawan mewawancarainya tetapi sesaat ia melihat David tersenyum perasaannya menjadi lebih tenang. Puluhan orang berada dalam acara tersebut di halaman yang luas dengan pemandangan pantai. Tepuk tangan meriah meramaikan proses wawancara yang berjalan lancar.
                David menghampiri Sonia untuk mengucapkan selamat dan Sonia membalas dengan ucapan terima kasih. Tentu semua ini berkat editor yang sangat misterius ini. Sementara, seorang laki-laki mengamati keduanya dari kejauhan dan menghilang.
~To be Continue~

Tidak ada komentar: