Mendekati
musim gugur suhu udara menjadi lebih rendah dari saat pertama kali Sonia tiba
di Sydney. Betapapun akan menjadi lebih dingin, ia tak akan
merasakan dinginnya
perubahan suhu dalam tiga hari terakhirnya di Sydney. Waktu akan terasa
berjalan sangat cepat pikirnya, petualangannya di Sydney semakin mendekati
akhir. Nanti, waktu mungkin akan berjalan sangat lambat ketika dimensinya
berubah dalam pikirannya. Kembali ke Indonesia dengan rutinitas yang tidak lagi
jelas, bukan lagi menjadi staff akuntansi di salah satu kantor di Jakarta.
Berbisnis jelas bukan karakternya, Sonia gadis yang sangat tidak perhitungan,
kurang konsisten dan memang karena sulit membangun niat dalam dirinya. Ia juga
tidak memiliki bakat khusus yang dapat menjamin masa depannya, dalam bidang
musik ia hanya bisa bermain sedikit gitar dan piano tentu sebuah band tidak
akan menerimanya. Jika ia mau, ia bisa bergabung dalam sebuah agency model
dengan memanfaatkan wajahnya yang polos, badan tinggi dan langsing atau bekerja
di bidang hospitality disebuah hotel, tentu itu akan cocok dengan sifatnya yang
ramah dan peduli terhadap orang lain. Tetapi, ia belum sampai berpikir pada
tahap itu, yang akan ia lakukan dalam tiga hari ini adalah menyelesaikan
segalanya di Sydney sebelum ia pulang ke Indonesia. Di Indonesia, ia tidak akan
tinggal diam perihal dicurinya hasil intelektual yang ia miliki oleh orang yang
tidak bertanggung jawab. Ia akan cari novel siapa yang dianggap sama dengan
miliknya, dari segi apa? Jika susunan kalimat dan plotnya bahkan sama, tentu yang
ia tuduh pertama kali adalah pihak penerbit yang kurang terkenal dan telah
menolak novelnya. Harusnya ia tidak asal-asalan memilih penerbit—maklum lah
penulis pemula.
Meski
ia telah mencoba berdamai dengan apa yang sedang terjadi, perasaan kehilangan
akan banyak hal selalu berada dibenaknya. Senja di Sydney Harbour Bridge,
burung-burung yang hinggap di sisi-sisi Sydney Opera House dan jejak-jejak
kapal feri yang menciptakan keindahan tersendiri bagi Sonia, tak akan lagi ia
temui. Sekarang, ia berharap salju jatuh di Sydney dan semua itu hilang begitu
saja, tapi itu mustahil atau kali ini ia berharap dalam tiga hari kedepan ia
bertemu dengan pengusaha kaya dan dijadikan Sonia sebagai Cinderellanya.
Tiba-tiba ia ingat Hendrik, ingin menelphonenya tapi takut sedang bersama
istrinya. Baiklah ia memberanikan diri untuk menelephone Hendrik.
Ia
mencari nomor Hendrik dan menekan simbol kamera—video call. Sesaat kemudian ia menemui
wajah Hendrik di layar telephone genggamnya. Ia menyapa dan menanyakan kabar
Sonia. Sonia dengan wajah yang sedih menceritakan apa yang sedang terjadi.
“Novelku
diplagiat seseorang dan David mengira aku yang memplagiat novelku sendiri dan
dalam waktu tiga hari aku harus segera meninggalkan Sydney. Apa yang harus
kulakukan Hendrik?”
“Bagaimana
bisa? Kau hanya mengirim naskahmu ke penerbit mungkin ada seseorang yang
mencuri filemu saat kau serahkan ke penerbit. Sonia jangan sedih ini hanya
badai sedang seperti angin musim gugur.”
Angin
musim gugur di Sydney memang tergolong ringan jika dibandingkan dengan negara-negara
di Eropa atau Amerika, tapi ini persoalan yang tidak bisa disamakan dengan
angin. Apa yang akan ia katakan pada ibunya jika tiba-tiba pulang ke Indonesia
hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan, jauh dari rencana—satu tahun. Ibu
Sonia sangat bangga anak semata wayangnya bisa mengejar mimpinya di Sydney.
Petuah dari ibunya lah Sonia berani memutuskan segala hal. Pernah suatu hari ia
bercakap-cakap dengan ibunya soal masa depan.
“Kamu
dulu itu lahir dikala senja, ayahmu melihat langit kala itu benar-benar orange
dan merah terang. Ibu selalu membelikanmu baju warna orange karena warna itu
symbol petualangan dan optimisme. Ibu
berharap dari petualangan itu kamu bisa menemukan kebahagiaanmu.” begitulah petuah
ibunya.
Sonia
memang tidak betah jika harus berada di zona aman. Ia akan selalu mencari celah
untuk menemukan hal-hal baru. Meski hanya dengan menulis, toh ia bisa sampai ke
Sydney meski hanya beberapa minggu.
Sore
ini ia akan bertemu dengan David di Watsons Bay untuk makan malam. Ia tak
melihat kebencian terhadap dirinya karena disangka memplagiat. Mungkin David
juga merasa bersalah karena hal ini baru terungkap dan ini cara permintaan maafnya.
Sonia segera bersiap-siap, cukup dengan jeans, jaket sedikit tebal dan sepatu
booth untuk melindungi tubuhnya yang ramping dari angin yang dingin. Segera ia
meraih tas kecilnya dan berjalan keluar ruangan sambil menarik napas dalam.
Sesampainya
di Watsons Bay ternyata David telah menunggu di sebuah meja lengkap dengan
seafood dan wine sebagai pelengkap dinner. Ia merasa aneh dengan David, seorang
editor dan penerjemah mampu menyediakan segala kemewahan di kota termahal di
Australia ini. Sonia berpikir mungkin dulu hidupnya menderita sehingga ia
sekarang hanya tinggal menikmati. Tak pentinglah bagi Sonia, yang paling
penting ia menyelesaikan makan malamnya bersama lelaki yang nampak bak seorang
pangeran.
“Tinggallah
disini sampai kontrakmu habis,” pinta David sambil meletakkan gelas winenya.
Sonia hampir tersedak wine dan berusaha menelan yang masih tersisa dimulutnya.
Ia sedikit terbatuk dan menyentuh bibirnya dengan jarinya, David hanya
memerhatikan itu.
“Bagaimana
bisa? Novelku disangka plagiat dan waktuku tinggal dua hari lagi. Lagipula
Mr.Hans sudah memberikanku tiket pulang,” jawab Sonia.
“Sudah
ku batalkan tiket itu. Habiskan waktumu disini sampai kau menemukan apa yang
kau cari dan lupakan saja novelmu, buat novel yang baru disini,” saran David
sedikit memaksa.
Lupakan
katamu batin Sonia. Bagaimanapun juga itu karya yang telah ia ciptakan dengan
segala kemampuannya. Ia tak bisa membiarkan begitu saja meski ditawar dengan permintaan
David itu.
“Itu
seperti mengkhianati diriku sendiri David, aku melupakan apa yang aku ciptakan.
Aku harus tetap pergi ke Indonesia dan mencari tahu siapa yang melakukan itu,”
sergah Sonia.
“Itu
semua tidak ada gunanya Sonia, jelas-jelas novel itu sudah terbit beberapa
bulan yang lalu. Lakukan petualanganmu disini”
Sonia
berpikir sejenak, benar juga apa yang dikatakan David, tidak ada gunanya. Tapi
tentu ia tidak rela novelnya diambil orang begitu saja. Lalu, Sonia menerima
permintaan David untuk bersedia menghabiskan kontraknya. Sambil tersenyum dan
menatap lelaki itu, Sonia berkata ‘yes’ dan David membalas senyumannya.
“Ini
sudah malam, baiknya aku antar saja dari pada naik kapal lagi toh hanya sedikit
yang bisa dilihat saat malam begini,” saran David. Mau tak mau Sonia
menyetujuinya dan menaiki mobil David sampai-sampai ia tertidur pulas di dalam
mobil sampai di apartmentnya. David tak mampu membangunkan gadis itu, saat
tertidur wajah Sonia benar-benar sangat polos tapi berwarna penuh mimpi.
Kemudian, David meraih tas Sonia dan mencari kunci apartmentnya. Ia membopong
Sonia masuk kedalam apartment dan membaringkan tubuhnya di atas kasur secara
perlahan. Sesaat kemudian tubuhnya menggeliat dan terbangun, ia terkejut sudah
berada didalam kamarnya. Ia mengalihkan pandangan ke lelaki yang berdiri
disamping ranjangnya. Sambil mengusap rambut Sonia, David tersenyum dan
mengucapkan selamat malam.
Hari-harinya
kali ini, ia mencoba menulis novel yang baru dengan tema-tema yang sedikit
berbeda dari sebelumnya. Ia hampir setiap hari juga bertemu David. David
memperlakukan Sonia dengan sangat baik meski bagi Sonia, David tetaplah lelaki
misterius yang tidak pernah menjawab soal masalah pribadinya dan soal siapa
yang memberinya naskah novel Sonia. Meski demikian, Sonia mulai merasa ada yang
salah dengan perasaannya. Benarkah ia mencintai David? Ralat, menyukai? Tentu
dia menyukai, jika tidak, ia tidak akan merasa senyaman ini selalu bersamanya.
Untuk mencintainya, mungkin cinta akan muncul seiring berjalannya waktu.
Tiga
bulan berjalan, segala kendala selalu terlewati tanpa kesulitan itu karena ada
peran David. Lama-lama ia telah melupakan novel yang dicuri oleh seseorang dan
menyelesaikan novel barunya yang akan terbit di Sydney dan kota-kota
sekitarnya. Ia tidak sabar namanya akan berada di toko-toko buku di Sydney dan
karyanya akan dibaca tidak hanya orang Indonesia. Telephone genggamnya berdering,
panggilan dari David. Secepat mungkin ia menjawab panggilan itu dan menyapanya.
Tak membalas sapaan dari Sonia, David berkata, “Persiapkan dirimu besok pagi,
sebuah media di Sydney akan mengundangmu untuk melakukan wawancara,” kemudian
menutup telephone-nya tanpa menunggu jawaban dari Sonia. Wawancara? Dalam
rangka apa? Ia sama sekali tak paham. Ia bukan penulis terkenal atau seorang
selebritis sensasional di Sydney. Ia akan menanyakan pada David keesokan
harinya.
Pagi-pagi
sekali Mr.Hans telah datang ke apartment Sonia dengan membawa seorang wanita.
Wanita itu memberikan sebuah gaun dan sepatu yang sangat elegan. “Ini
permintaan Mr.David nona, anda harus menggunakan ini. Mari saya bantu.” Kata
wanita itu sambil tersenyum.
Sonia
tampak cantik menggunakan gaun yang melekat pada tubuhnya yang ramping. Mr.Hans
mengarahkannya untuk menuju mobilnya dan mengantarkan kesebuah rumah dikawasan
mewah. Ia tak tahu rumah siapa itu tetapi David telah menunggu di sebuah
ruangan dengan pemandangan langsung ke pantai.
“Kau
sangat cantik Sonia, silakan duduk,”
“Mengapa
aku disini? Kau bilang,?” tanya Sonia penuh kebingungan.
“Ya,
aku meminta untuk melakukannya disini. Sebenarnya nanti kau hanya perlu
menjelaskan bahwa kau tidak melakukan plagiat,”
“Apa?
Bagaimana bisa begitu? Aku tidak ada bukti.”
“Novelmu
yang disangka plagiat sebenarnya telah terbit dua bulan lalu di Sydney,
Melbourne dan Canbera dan terjual lebih dari yang sudah diperkirakan.” Ia
melanjutkan, “Seseorang telah menyelidiki kasus itu di Indonesia dan ternyata
seseorang yang memplagiat novelmu. Seseorang mencurinya saat editor penerbit
yang kamu tuju sedang keluar tanpa menutup komputernya, dan inilah hasilnya.”
Jelas David.
Sonia
terharu dan benar-benar ingin menangis bahagia mendengar kabar itu. “Tetapi,
siapa orang yang menyelidiknya itu,?” tanya Sonia penasaran. “Nanti kau akan
tahu,” jawab David singkat.
Sonia
tampak sedikit grogi saat seorang wartawan mewawancarainya tetapi sesaat ia
melihat David tersenyum perasaannya menjadi lebih tenang. Puluhan orang berada
dalam acara tersebut di halaman yang luas dengan pemandangan pantai. Tepuk
tangan meriah meramaikan proses wawancara yang berjalan lancar.
David
menghampiri Sonia untuk mengucapkan selamat dan Sonia membalas dengan ucapan
terima kasih. Tentu semua ini berkat editor yang sangat misterius ini.
Sementara, seorang laki-laki mengamati keduanya dari kejauhan dan menghilang.
~To be Continue~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar