Ia duduk termenung berpangku
tangan di teras rumah sang guru. Rumah tradisional ala masa kerajaan seakan
membawanya berbalik ke masa lalu. Ia memikirkan kata-kata yang terucap dari
mulut sang guru dulu. Anggabaya sudah lama bersama guru tersebut bahkan sejak
bayi. Guru tersebut bernama Ardipura, ia adalah guru silat Anggabaya sejak ia
masih berusia 15 tahun. Hidup Anggabaya sejak kecil diajarkan rasa syukur dan
menghormati walaupun ia juga diajarkan bagaimana untuk membunuh musuh tepat
sasaran. Namun sebuah penyesalan tidak bisa diposisikan pada awal mula.
Anggabaya sesosok lelaki berusia
35 tahun yang sudah menguasai seni bela diri sejak ia berusia 17 tahun. Awal mula
cerita ketika ia ditugaskan gurunya untuk menguji nyalinya menuju kuburan
keramat. Saat itu usianya masih 19 tahun. Ia berjalan sendirian menyusuri
gunung-gunung kecil, bukit, sawah, sungai, hutan tebu dan lembah sampai ke
kuburan keramat yang dituju. Sekitar 15 km ia berjalan hanya berbekal tongkat
dan seni bela dirinya yang sudah diajarkan sang guru. Ketika sampai dibebatuan
bawah pohon yang besar dengan akar-akar yang menjalar ke segala arah ia duduk
bersila dan memejamkan mata.
Perjalanan yang memakan waktu 3
jam membuatnya lelah dan sekitar pukul 3 dini hari ia dikejutkan suara dentuman
orang yang berlari kearahnya. Bulu kuduknya seketika berdiri. Hawa dingin
menyelimuti tubuhnya seperti ada hembusan napas yang meniup segala arah
tubuhnya. Ia tetap berusaha memejamkan mata seperti yang diperintahkan gurunya
sebelum berangkat ke kuburan keramat. Suara-suara longlongan serigala terdengar
begitu keras. Disamping kirinya terdengar seperti singa sedang menggeram. Ia tetap
saja berusaha memejamkan mata dengan tubuh bergetar dan keringat bercucuran. Semakin
lama suara-suara dan gangguan semakin menjadi-jadi. Ia tak segan-segan buka
suara untuk melawan rasa takutnya.
“Bunuhlah aku saja jika kau mau
!!” teriak Anggabaya sambil menegakkan duduknya.
Tidak ada jawaban dari siapapun. Namun
seperti ada sesuatu yang besar mendekat ke arah kirinya. Bulu kuduknya semakin
berdiri sehingga membuatnya semakin tidak perduli akan nyawanya.
“Bunuhlah aku jika kau mau. ! aku
tidak takut apapun wujudmu.!!” Teriaknya lagi
“Bunuhlah aku jika aku bersalah
padamu, apapun wujudmu aku tidak takut jika kau ingin membunuhku” suaranya
semakin keras.
Berulang kali Anggabaya
mengucapkan kata-kata itu sampai akhirnya hal ajaib terjadi padanya. Suasana dingin,
suara hembusan napas, longlongan srigala, geraman singa dan sosok besar seperti
melangkahkan kaki menjauh dari tubuhnya. Sinar bulan purnama seakan menghangatkan
tubuhnya dari hawa dingin yang menyerangnya.
Matapun ia buka secara perlahan
dan melihat ke segala arah tak ada siapapun yang ada hanya hamparan sawah tumbuhan padi
yang masing muda ditiup angin sepoi pagi. Baru ia menyadari ada tulisan nama
yang sudah usang di atas batu nisan. Ia ternyata menduduki sebuah nisan besar
dibawah pohon Mendira tua berusia sekitar ribuan tahun.
‘RM Soebandiman Dirdjoatmodjo, makam
siapakah ini?’ batin Anggabaya bertanya-tanya.
Secepat mungkin ia berlari keluar
dari makam tersebut dan fokus terhadap nama yang sudah dibacanya di batu nisan
tadi. Ia berlari sekencang-kencangnya ke pendopo sang guru menyusuri bukit,
sungai, hutan, sawah dan jalan setapak. Sesampainya dijalan setapak hampir
mendekati pendopo terdengar suara tangisan bayi. Anggabaya hanya mendengar
tanpa peduli tapi semakin dia menjauh semakin pula suara tangisan bayi
terdengar ditelinganya. Kemudian ia pun mencari sumber suara dan dibawah pohon
terdapat keranjang kecil dengan selimut yang sudah usang dan sedikit basah. Dia
singkap selimut yang menutupi keranjang, sesosok bayi laki-laki dengan rambut
tebal dan mata yang bulat sedang menangis. Anggabaya tampak bingung apa yang
harus ia lakukan. Ia berpikiran akan membawanya pulang ke pendopo guru tetapi
ia takut akan dimarahi, ia juga berpikir akan membawa pulang kerumah ibunya
tetapi itu akan lebih membawa fitnah. Akhirnya Anggabaya membawa sang bayi
beserta keranjangnya ke pendopo guru.
Sesampainya di pendopo, Anggabaya
menceritakan hal-hal yang terjadi di kuburan keramat sampai ia menemukan bayi
laki-laki. Semenjak tentamen nyali yang dilakukan di kuburan keramat Anggabaya
menemui hal-hal aneh. Pada suatu malam sang guru berubah karakter. Ia mengumpulkan
semua muridnya dihalaman belakang dan memanggil satu per satu muridnya kemudian
memukulnya. Banyak murid yang terlempar dan kesakitan. Ketika Anggabaya maju
dan akan menghadapi sang guru yang ia pikirkan hanya nama yang bertulis dibatu
nisan saat di kuburan keramat. Satu pukulan dari guru tidak membuatnya sakit. Semua
terpana melihat kemampuan Anggabaya termasuk guru sendiri. Kemudian Anggabaya
disebut si tampan dan si pintar oleh sang guru.
Malam berikutnya Anggabaya
dikejutkan sang guru yang tiba-tiba muncul dihadapannya. Suaranya parau dan
sedikit berat. Anggabaya tersadar itu bukan gurunya.
“Kau siapa?” teriak Anggabaya
ketakutan.
“Tenang kau tak usah takut, aku
RM Soebandiman Dirdjoatmodjo, aku hanya meminjam raga ini untuk menemuimu dan
berkomunikasi denganmu” ucap raga sang guru lirih.
“Apa maumu?” tanya Anggabaya
dengan tubuh bergetar.
“Kau lelaki yang bijaksana dan
bertanggung jawab. Jika kau mau bawalah bayi yang kau temukan di pinggir jalan
dan carilah wanita yang mau hidup denganmu dan mengasuh bayi tersebut” katanya
lirih
“Aku tidak bisa meninggalkan
tempat ini” jawab Anggabaya.
“Aku akan bicara ke gurumu,
anggap saja aku kakekmu, aku akan memohonkan permohonan jika kau benar-benar mau
hidup bersama wanita yang bernama Amira dengan membawa bayi itu. Disitulah jati
dirimu” lanjut jiwa yang merasuk di tubuh sang guru.
“Bagaimana kau tahu aku dekat
dengan Amira? Dia sudah ku anggap adikku. Umurku masih 19 tahun bagaimana bisa
aku memberikan penghidupan yang layak?” jawab Anggabaya dengan nada tinggi.
“Kau mampu, masih ingatkah beberapa
makhluk yang menghampirimu saat kau duduk diatas batu nisanku? Disekitarmu ada
puluhan makhluk dengan wujud yang bermacam-macam. Jika kau membuka mata bisa
saja kau pinsan dan kehilangan banyak tenaga. Tetapi kau mampu menghadapi
mereka dengan tetap menutup mata dan memberikan perlawanan” jelas jiwa
tersebut.
Anggabaya hanya terpaku terdiam,
pikirannya kosong begitu juga dengan tatapannya. Tak sadar ia terjatuh di
tempat tidur sampai pagi hari. Ia berharap semua itu hanya mimpi tetapi tidak
ada yang bisa membuktikan jika itu hanya mimpi. Bukti besar jika itu nyata
adalah ketika baju hangat bayi ada disamping tempat tidurnya.
‘Baiklah jika makhluk itu ku
anggap sebagai kakekku. Aku akan menjaga bayi ini dan menunggu sampai usiaku
matang begitu juga dengan Amira.’ Pikir Anggabaya.
Usia 21 tahun ia kira sudah cukup
matang untuk membawa pergi Amira dan bayi yang berumur 2 tahun. Ia merawat dan
membesarkan bayi tersebut dan memberi nama Sakti. Sampai pada akhirnya Amira
tidak kuat untuk merawat sang bayi karena usianya yang belum cukup matang. Kemudian
Amira pergi meninggalkan Anggabaya dan anak yang masih kecil. Sampai pada
akhirnya Anggabaya juga tidak kuat dan membunuh Sakti yang masih berusia 3
tahun. Ia membubuhi racun pada minuman Sakti dengan seketika ia tewas ditangan
orang yang menemukannya di bawah pohon. Ia menguburkan Sakti dibelakang pendopo
sang guru. Semenjak sang guru meninggal, Anggabaya kembali dan memimpin di
pendopo sang guru. Namun segala kesialan selalu menjumpainya semenjak ia
membunuh Sakti. Tulisan-tulisan misterius selalu ada dilantai teras pendopo.
Anggabaya ingat ketika ia
memutuskan untuk membunuh Sakti, sang guru mengatakan padanya jika anak itu
adalah anugrah. Anugrah itu bukanlah dari si kakek yang merasuki raga sang guru
melainkan dari Tuhan. Tetapi karena tidak kesabaran dan kesiapan Anggabaya, ia
melakukan hal bodoh sehingga meninggalkan luka dan penyesalan yang sangat
mendalam.
Setiap menjelang petang tulisan
tersebut dianggapnya adalah kata hati Sakti dari surga yang sangat perih ketika
lelaki yang akan menjadi ayahnya justru malah membunuhnya. Tulisan-tulisan
kecil tersebut adalah surat-surat Sakti yang ia kirimkan dari surga melalui tangan
mungilnya.
‘Aku ingin
kau peluk, Ayah’ Tulisan
pertama.
‘Ayah,
dimana ibu? Mengapa kau tak bersamanya?’ Tulisan kedua.
‘Ayah, aku
merindukan kasih dan pelukmu saat tubuhku dingin karena tetesan hujan dan air
mata ibu yang kadang terasa dingin’ Tulisan
ketiga.
‘Disini
sangat hangat Ayah, tetapi aku ingin sekali memelukmu juga ibu’ Tulisan keempat.
‘Ayah,
kenapa kau memberikan minuman yang justru malah membuatku tinggal dirumah
sebagus dan senyaman ini tetapi tanpa kasihmu?’ Tulisan Kelima.
‘Ayah,
bisakah kau kembali bersama Ibu dan menjemputku kembali dengan raga yang
berbeda?’ Tulisan keenam.
‘Ayah, aku
bosan selalu menyuratimu tanpa kau balas. Bisakah kau memberiku kesempatan
untuk tinggal bersamamu?’ Tulisan
ketujuh.
‘Ayah,
teman-temanku banyak disini, akupun bahagia, tetapi apakah haram jika inginku
hidup dalam dekapanmu?’ Tulisan
kedelapan.
‘Ayah, aku
sudah sangat lelah mengirimkanmu surat. Aku hanya minta carilah ibu dan
kembalilah kepadanya. Ibu sangat menderita hidup tanpamu, Ayah’ Tulisan kesembilan.
‘Ayah, aku
memaafkanmu..’ Tulisan
terakhir.
Seketika lamunan Anggabaya tersadar
ketika wanita cantik menyadarkannya dan memberikan satu cangkir teh hangat.
Anggabaya merasa bersalah dengan Sakti iapun menebus semua kesalahan dengan
menuruti permintaan Sakti melalui surat-suratnya. Penyesalan bukanlah untuk
disesali tetapi dipelajari apa yang akan terjadi kehidupan setelahnya.
Anggabaya akan selalu mengenang Sakti dan akan menjemput Sakti dengan raga
berbeda dan hidup bersama wanita yang Sakti inginkan.
‘Maafkan Ayah, Sakti’ Batin
Anggabaya sambil mencium baju hangat Sakti yang diberikan oleh si kakek.(Selesai)
Oleh: Ninda Prabawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar