Rabu, 11 Maret 2015

Surat-surat 'Sakti'

   
Ilustrasi/google

   Ia duduk termenung berpangku tangan di teras rumah sang guru. Rumah tradisional ala masa kerajaan seakan membawanya berbalik ke masa lalu. Ia memikirkan kata-kata yang terucap dari mulut sang guru dulu. Anggabaya sudah lama bersama guru tersebut bahkan sejak bayi. Guru tersebut bernama Ardipura, ia adalah guru silat Anggabaya sejak ia masih berusia 15 tahun. Hidup Anggabaya sejak kecil diajarkan rasa syukur dan menghormati walaupun ia juga diajarkan bagaimana untuk membunuh musuh tepat sasaran. Namun sebuah penyesalan tidak bisa diposisikan pada awal mula.

   Anggabaya sesosok lelaki berusia 35 tahun yang sudah menguasai seni bela diri sejak ia berusia 17 tahun. Awal mula cerita ketika ia ditugaskan gurunya untuk menguji nyalinya menuju kuburan keramat. Saat itu usianya masih 19 tahun. Ia berjalan sendirian menyusuri gunung-gunung kecil, bukit, sawah, sungai, hutan tebu dan lembah sampai ke kuburan keramat yang dituju. Sekitar 15 km ia berjalan hanya berbekal tongkat dan seni bela dirinya yang sudah diajarkan sang guru. Ketika sampai dibebatuan bawah pohon yang besar dengan akar-akar yang menjalar ke segala arah ia duduk bersila dan memejamkan mata.

   Perjalanan yang memakan waktu 3 jam membuatnya lelah dan sekitar pukul 3 dini hari ia dikejutkan suara dentuman orang yang berlari kearahnya. Bulu kuduknya seketika berdiri. Hawa dingin menyelimuti tubuhnya seperti ada hembusan napas yang meniup segala arah tubuhnya. Ia tetap berusaha memejamkan mata seperti yang diperintahkan gurunya sebelum berangkat ke kuburan keramat. Suara-suara longlongan serigala terdengar begitu keras. Disamping kirinya terdengar seperti singa sedang menggeram. Ia tetap saja berusaha memejamkan mata dengan tubuh bergetar dan keringat bercucuran. Semakin lama suara-suara dan gangguan semakin menjadi-jadi. Ia tak segan-segan buka suara untuk melawan rasa takutnya.
“Bunuhlah aku saja jika kau mau !!” teriak Anggabaya sambil menegakkan duduknya.
Tidak ada jawaban dari siapapun. Namun seperti ada sesuatu yang besar mendekat ke arah kirinya. Bulu kuduknya semakin berdiri sehingga membuatnya semakin tidak perduli akan nyawanya.
“Bunuhlah aku jika kau mau. ! aku tidak takut apapun wujudmu.!!” Teriaknya lagi
“Bunuhlah aku jika aku bersalah padamu, apapun wujudmu aku tidak takut jika kau ingin membunuhku” suaranya semakin keras.
Berulang kali Anggabaya mengucapkan kata-kata itu sampai akhirnya hal ajaib terjadi padanya. Suasana dingin, suara hembusan napas, longlongan srigala, geraman singa dan sosok besar seperti melangkahkan kaki menjauh dari tubuhnya. Sinar bulan purnama seakan menghangatkan tubuhnya dari hawa dingin yang menyerangnya.

   Matapun ia buka secara perlahan dan melihat ke segala arah tak ada siapapun yang ada hanya hamparan sawah tumbuhan padi yang masing muda ditiup angin sepoi pagi. Baru ia menyadari ada tulisan nama yang sudah usang di atas batu nisan. Ia ternyata menduduki sebuah nisan besar dibawah pohon Mendira tua berusia sekitar ribuan tahun.
‘RM Soebandiman Dirdjoatmodjo, makam siapakah ini?’ batin Anggabaya bertanya-tanya.
Secepat mungkin ia berlari keluar dari makam tersebut dan fokus terhadap nama yang sudah dibacanya di batu nisan tadi. Ia berlari sekencang-kencangnya ke pendopo sang guru menyusuri bukit, sungai, hutan, sawah dan jalan setapak. Sesampainya dijalan setapak hampir mendekati pendopo terdengar suara tangisan bayi. Anggabaya hanya mendengar tanpa peduli tapi semakin dia menjauh semakin pula suara tangisan bayi terdengar ditelinganya. Kemudian ia pun mencari sumber suara dan dibawah pohon terdapat keranjang kecil dengan selimut yang sudah usang dan sedikit basah. Dia singkap selimut yang menutupi keranjang, sesosok bayi laki-laki dengan rambut tebal dan mata yang bulat sedang menangis. Anggabaya tampak bingung apa yang harus ia lakukan. Ia berpikiran akan membawanya pulang ke pendopo guru tetapi ia takut akan dimarahi, ia juga berpikir akan membawa pulang kerumah ibunya tetapi itu akan lebih membawa fitnah. Akhirnya Anggabaya membawa sang bayi beserta keranjangnya ke pendopo guru.

   Sesampainya di pendopo, Anggabaya menceritakan hal-hal yang terjadi di kuburan keramat sampai ia menemukan bayi laki-laki. Semenjak tentamen nyali yang dilakukan di kuburan keramat Anggabaya menemui hal-hal aneh. Pada suatu malam sang guru berubah karakter. Ia mengumpulkan semua muridnya dihalaman belakang dan memanggil satu per satu muridnya kemudian memukulnya. Banyak murid yang terlempar dan kesakitan. Ketika Anggabaya maju dan akan menghadapi sang guru yang ia pikirkan hanya nama yang bertulis dibatu nisan saat di kuburan keramat. Satu pukulan dari guru tidak membuatnya sakit. Semua terpana melihat kemampuan Anggabaya termasuk guru sendiri. Kemudian Anggabaya disebut si tampan dan si pintar oleh sang guru.

   Malam berikutnya Anggabaya dikejutkan sang guru yang tiba-tiba muncul dihadapannya. Suaranya parau dan sedikit berat. Anggabaya tersadar itu bukan gurunya.
“Kau siapa?” teriak Anggabaya ketakutan.
“Tenang kau tak usah takut, aku RM Soebandiman Dirdjoatmodjo, aku hanya meminjam raga ini untuk menemuimu dan berkomunikasi denganmu” ucap raga sang guru lirih.
“Apa maumu?” tanya Anggabaya dengan tubuh bergetar.
“Kau lelaki yang bijaksana dan bertanggung jawab. Jika kau mau bawalah bayi yang kau temukan di pinggir jalan dan carilah wanita yang mau hidup denganmu dan mengasuh bayi tersebut” katanya lirih
“Aku tidak bisa meninggalkan tempat ini” jawab Anggabaya.
“Aku akan bicara ke gurumu, anggap saja aku kakekmu, aku akan memohonkan permohonan jika kau benar-benar mau hidup bersama wanita yang bernama Amira dengan membawa bayi itu. Disitulah jati dirimu” lanjut jiwa yang merasuk di tubuh sang guru.
“Bagaimana kau tahu aku dekat dengan Amira? Dia sudah ku anggap adikku. Umurku masih 19 tahun bagaimana bisa aku memberikan penghidupan yang layak?” jawab Anggabaya dengan nada tinggi.
“Kau mampu, masih ingatkah beberapa makhluk yang menghampirimu saat kau duduk diatas batu nisanku? Disekitarmu ada puluhan makhluk dengan wujud yang bermacam-macam. Jika kau membuka mata bisa saja kau pinsan dan kehilangan banyak tenaga. Tetapi kau mampu menghadapi mereka dengan tetap menutup mata dan memberikan perlawanan” jelas jiwa tersebut.
Anggabaya hanya terpaku terdiam, pikirannya kosong begitu juga dengan tatapannya. Tak sadar ia terjatuh di tempat tidur sampai pagi hari. Ia berharap semua itu hanya mimpi tetapi tidak ada yang bisa membuktikan jika itu hanya mimpi. Bukti besar jika itu nyata adalah ketika baju hangat bayi ada disamping tempat tidurnya.
‘Baiklah jika makhluk itu ku anggap sebagai kakekku. Aku akan menjaga bayi ini dan menunggu sampai usiaku matang begitu juga dengan Amira.’ Pikir Anggabaya.

   Usia 21 tahun ia kira sudah cukup matang untuk membawa pergi Amira dan bayi yang berumur 2 tahun. Ia merawat dan membesarkan bayi tersebut dan memberi nama Sakti. Sampai pada akhirnya Amira tidak kuat untuk merawat sang bayi karena usianya yang belum cukup matang. Kemudian Amira pergi meninggalkan Anggabaya dan anak yang masih kecil. Sampai pada akhirnya Anggabaya juga tidak kuat dan membunuh Sakti yang masih berusia 3 tahun. Ia membubuhi racun pada minuman Sakti dengan seketika ia tewas ditangan orang yang menemukannya di bawah pohon. Ia menguburkan Sakti dibelakang pendopo sang guru. Semenjak sang guru meninggal, Anggabaya kembali dan memimpin di pendopo sang guru. Namun segala kesialan selalu menjumpainya semenjak ia membunuh Sakti. Tulisan-tulisan misterius selalu ada dilantai teras pendopo.

   Anggabaya ingat ketika ia memutuskan untuk membunuh Sakti, sang guru mengatakan padanya jika anak itu adalah anugrah. Anugrah itu bukanlah dari si kakek yang merasuki raga sang guru melainkan dari Tuhan. Tetapi karena tidak kesabaran dan kesiapan Anggabaya, ia melakukan hal bodoh sehingga meninggalkan luka dan penyesalan yang sangat mendalam.

   Setiap menjelang petang tulisan tersebut dianggapnya adalah kata hati Sakti dari surga yang sangat perih ketika lelaki yang akan menjadi ayahnya justru malah membunuhnya. Tulisan-tulisan kecil tersebut adalah surat-surat Sakti yang ia kirimkan dari surga melalui tangan mungilnya.
‘Aku ingin kau peluk, Ayah’ Tulisan pertama.
‘Ayah, dimana ibu? Mengapa kau tak bersamanya?’ Tulisan kedua.
‘Ayah, aku merindukan kasih dan pelukmu saat tubuhku dingin karena tetesan hujan dan air mata ibu yang kadang terasa dingin’ Tulisan ketiga.
‘Disini sangat hangat Ayah, tetapi aku ingin sekali memelukmu juga ibu’ Tulisan keempat.
‘Ayah, kenapa kau memberikan minuman yang justru malah membuatku tinggal dirumah sebagus dan senyaman ini tetapi tanpa kasihmu?’ Tulisan Kelima.
‘Ayah, bisakah kau kembali bersama Ibu dan menjemputku kembali dengan raga yang berbeda?’ Tulisan keenam.
‘Ayah, aku bosan selalu menyuratimu tanpa kau balas. Bisakah kau memberiku kesempatan untuk tinggal bersamamu?’ Tulisan ketujuh.
‘Ayah, teman-temanku banyak disini, akupun bahagia, tetapi apakah haram jika inginku hidup dalam dekapanmu?’ Tulisan kedelapan.
‘Ayah, aku sudah sangat lelah mengirimkanmu surat. Aku hanya minta carilah ibu dan kembalilah kepadanya. Ibu sangat menderita hidup tanpamu, Ayah’ Tulisan kesembilan.
‘Ayah, aku memaafkanmu..’ Tulisan terakhir.

   Seketika lamunan Anggabaya tersadar ketika wanita cantik menyadarkannya dan memberikan satu cangkir teh hangat. Anggabaya merasa bersalah dengan Sakti iapun menebus semua kesalahan dengan menuruti permintaan Sakti melalui surat-suratnya. Penyesalan bukanlah untuk disesali tetapi dipelajari apa yang akan terjadi kehidupan setelahnya. Anggabaya akan selalu mengenang Sakti dan akan menjemput Sakti dengan raga berbeda dan hidup bersama wanita yang Sakti inginkan.
‘Maafkan Ayah, Sakti’ Batin Anggabaya sambil mencium baju hangat Sakti yang diberikan oleh si kakek.(Selesai)

Oleh: Ninda Prabawati

Tidak ada komentar: