Jumat, 20 Februari 2015

(Beban Moral) "Insya Allah" Harapan 99,9% Pasti

Mbah Puspo Pengolah Tempe Tradisional/Ninda

This day, aku meninggalkan jejak, meninggalkan sebuah ketidakpastian, meninggalkan sebuah harapan yang tidak tahu pasti akan datang atau pergi. Ia/mereka yang menghilang atau aku yang menghilang pada intinya semua berakhir. Harap-harap menunggu kata "Insya Allah" ku kepadanya, yang entah sampai kapan pemerintah yang mendahuluiku melihatnya dan meninggalkan setitik harapan yang jelas pastinya. Tidak lebih dari sekedar kata-kata hari ini yang ku ungkapkan, sebuah kata "Insya Allah" yang menjadi 99,9% harapan pasti, yaa harapan pasti tentunya. 

Terdiam, dalam hati berbicara bagaimana aku bisa menyelesaikan masalah ini? Jika hanya memberi beberapa rupiah untuk modal Nenek yang biasa disebut Mbah Puspo(70) untuk membuat tempe secara tradisional itu hal yang mudah, tapi ini masalah moral, aku mendapati beban moral yang sangat diharap-harapkan. Siapa aku disini? Atas dasar apa aku yang tidak sengaja memberikan harapan kepada Nenek itu. Ah dasar ini semua gara-gara bapak yang tadi duduk disebelah si Nenek dan memberikan isu-isu yang isinya tentu tidak benar adanya, tentu saja aku maklumi nenek itu pasti mengganggapnya juga begitu. Karna mungkin penampilan yang seperti Mahasiswi dengan memegang kamerad dianggapnya KKN. 

Begini sih kronologinya, siang tadi aku datang ke Imogiri untuk sekedar meliput saja nenek yang memprodkusi tempe tradisional, karna udah semakin banyak yang memproduksi tempe dengan cara yang modern dari situlah mulai pertanyaan yang menjadi harapan. Sudahlah ini bukan masalah tempenya, ini tetap saja beban moral. Paling menyebalkan setiap pertanyaanku pasti disela bapak yang duduk disamping nenek dengan menghakimi kapan akan diberikan dan berapa? Tapi ada saran yang cukup baik bagiku, jika memberikan modal 'home industry' tidak perlu melalui pemerintah daerah langsung ke sasaran yang dimaksud. Oke baiklah aku anggap itu semua selesai. Tapi belum sepenuhnya selesai masih ada beberapa tahap lagi, yaitu aku harus memposisikan dimana letakku yang sebenarnya. Oh God kenapa ujianmu harus mengorbankan orang lain? Dan itu tidak hanya satu. 

Dengan segala keterbatasanku revolusi mental berjalan dengan sendirinya. Tidak boleh ada 'Mental Tempe' disini seperti yang dikatakan Bung Karno. Walaupun begitu aku tetap tidak kuat untuk melihat labirin didalam mata si nenek yang meyesatkan, dimana terdapat pintu keluar yang seharusnya ada sebuah harapan. Kuhentikan semua pertanyaan yang sudah kupersiapkan, dianggap tidak profesional "YA" aku mengakuinya. Tapi disaat itu penuh gangguan yang membayangi fikiranku sehingga aku tidak dapat fokus kemana aku berjalan bagaikan kompas tanpa jarum, tersesat dan berjalan kesegala arah tanpa henti. Beruntung ketika masih ada sebuah cahaya yang mampu membawaku ke suatu tempat, tempat yang menjadi harapan dari segala harapan. 

But, today, pelajaran ini adalah sebuah beban moral pasti akan terbayarkan ketika aku menempatkan posisiku yang sebenarnya. Posisiku yang menjadi diri sendiri, seorang Ninda, and then Ninda it's not Najwa, seorang Anchor yang profesional sangat sulit didapatkan, karena tidak semua manusia bisa. Tapi perasaan empati selalu ada disetiap aliran darahku. Kali ini aku keluar dan benar-benar melihat dunia, dunia yang tidak begitu luas bukan berarti dunia ini sempit. Aku bisa melihat kehidupan yang sangat berbeda untuk dijadikan sebuah pelajaran, pelajaran yang menjadikan motivasi, kekuatan dan sebuah kepastian. Bagiku kata "Insya Allah" itu hanya sebuah basa-basi saja, jika bicara "Insya Allah" kemungkinannya hanya ada dua antara "YES" or "NO". Dan aku pastikan itu "YES". Tuhan memberi jalan dan akan membantuku meletakkan posisiku yang sebenaranya.(Pba) 


Catatan: seorang nenek didaerah Imogiri, Bantul yang memproduksi tempe tradisional secara personal, bahan baku kedelai, dan bahan-bahan pendukung lainnya ia beli dengan menghabiskan uang sekitar Rp.90 ribu, tempe yang dibungkus dengan daun pisang ia hargai Rp.200 rupiah. Jika terjual habis ia bisa mengantongi uang kotor sebesar Rp.120 Ribu, uang itu masih dipotong pembelian bahan baku, bahan bakar kayu itu yang sangat disayangkan, kayu didaerah Imogiri harus ia beli entah apa alasannya? Ia mendapat untung bersih sekitar Rp.10-20 Ribu, dan proses pembuatan tempe sekitar 3-4 hari. Segitu lamanya ia menanti uang sekecil itu? Dan sangat disayangkan pula, seperti jaminan sosial, jaminan kesehatan ia tidak punya itu semua. Setidaknya aku sudah mengorek-ngorek apa yang terjadi disana dan dengan pemerintahan yang bagaimana? Oh sungguh nek aku tersesat di dalam labirin matamu yang menggores hati.(Ninda Pba) 

Yogyakarta, 17 Februari 2015 

Tidak ada komentar: