Nyanyian Hujan (sukamerindu.blospot.com) |
"Hujan meninggalkan suara-suara merdunya, membekas di telinga. Namun, kesunyian, sunyaruri adalah satu-satunya keadaan saat itu. Tak perlu merisau, aku masih milikmu"
Batu tak pernah melawan saat dihempas hujan. Bahkan tak sempat terucap kata maaf dari si hujan. Kesakitan pada batu tak begitu dirasa. Ia nikmati, ia resapi kesegaran air hujan yang sedikit demi sedikit mengikis permukaannya yang kasar.
Lelaki itu, satu kali pun tak pernah mengamati dimana jatuhnya hujan apalagi mengukur berapa kemiringan turunnya hujan disuatu tempat. Ia mungkin hanya menikmati suara pasukan hujan yang mulai turun dari awan yang menimpa hampir semua bagian mobil yang ia kendarai, bersamaku.
Heningnya perjalanan itu, membuatku menjadikan hujan sebagai alasannya. Ya, alasan untuk menemaniku, memberiku pekerjaan untuk menghitung rintik hujan dan berapa kali per detik ia menetes, ah bodoh. Aku hanya ingin ia mencipta lagu untukku. Semakin ku nikmati, semakin merdu suara rintiknya. Seolah suara mesin mobil dan goyangan wiper tak terdengar dan tak terlihat. Kemudian, aku hanyut dalam nikmatnya perjalanan dengan lelaki itu, tanpa kalimat apapun.
"Sayang, tidurlah," seketika mataku terbuka dan menyaksikan keindahan didepan ku. Hijaunya pohon-pohon ditengah hutan, jalanan aspal yang mulus dan mengkilap akan sisa-sisa guyuran hujan seolah menjadi pelipur lara. Ia menyaksikan kebahagiaan dalam aura jiwaku meski aku tidak mengakui.
Sia-sia tak ku akui, ia tetap satu-satunya seseorang yang paling mengerti setiap inchi hatiku. Entahlah, ia bukan manusia yang memiliki ilmu kebatinan.
Ya, jawaban simpel keluar dari dalam hatiku. "Ya" simpel tak perlu menangis, tak perlu menyesali. Lupakan teriakan yang meremas hati.
Hatiku menjadi lembab, sejuk kemudian membeku. Tak terasa sudah, sesuatu telah menusuk. Aku hanya ingin lama dalam perjalanan hening ini, seperti katanya, "Jalani saja".
Benar jalani saja, mungkin ada penyesalan bibir berkata demikian. Tak ku risaukan sekarang. Tak terasa seluruh tubuhku mulai dingin, matahari yang hanya datang sebentar mulai sembunyi dibalik ranting-ranting pohon yang rindang, ia malu menyaksikan kebisuan yang kami ciptakan. Segar memang tapi membeku. Ia meninggalkan dengan kegelapan yang membuatku tak bisa melihat kemiringan hujan. Semua terdiam. Keadaan menjadi sunyaruri.
(Ninda Prabawati, December 20th, 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar