Part. 1
Sebuah kisah yang bertahun-tahun tertutup dibalik
perjalanan pengelana yang mencari jati dirinya, disana ada sejarah-sejarah hidup
tanpa seorang pun tahu. Kini ia kembali lagi menengok masa sejarah itu ketika ia
bertemu seorang perempuan yang memiliki nama hampir mirip dengan seseorang yang
pernah memberi romansa yang tak beda di waktu dulu. Seorang pemuda bernama
Darma kini kembali hadir untuk mengejar semua impian-impian yang tertutup.
Sudah 19 tahun belakangan ini Darma seakan
bisa melupakan kisah perih yang ia alami semasa remajanya, ia ingat pun tidak
apa lagi menulisnya. Entah mengapa dengan
kemunculan si nama mirip itu ia mampu membongkar kembali arsip-arsip lama dalam
memorinya yang pernah ia lupakan. Ia hanya ingat beberapa peristiwa ketika
hidup disebuah desa di daerah Jawa Timur, disanalah sebenarnya kisah-kisah
dimulai.
Sabtu di bulan Desember 1995. Ia hanya ingat
hari Sabtu, Darma yang masih duduk dibangku SMA tentunya punya banyak teman
sebayanya. Sepulang ia sekolah ia hanya dirumah. Anak bungsu dari tiga
bersaudara ini cerdas, tampan, dan bijaksana. Ia selalu ngaji rutin di masjid
kampung. Rutinitas ini seperti menjadi menu wajib bagi anak-anak seusianya jika
masuk waktu maghrib hingga isya.
Sepanjang sholat isya ia merasakan ada yang
berdegub didadanya, Entah apa yang sedang ia pikirkan. Hatinya berteriak, namun
ia tidak bisa mendengar teriakan kecil itu yang sebenarnya keras. Umur 15 tahun
seakan memendam semangat abad pencerahan. Masa ketika ia dan para lelaki
ingusan, mulai tertarik satu atau dua gadis manis dikampungnya.
Namanya Elvira, Elvira Aprilia, baru ia ketahui
nama itu menandai lahirnya di bulan April, dia baru 13 tahun saat itu. Ia cukup
menonjol di kampungnya, selain orang tua nya yang disebut ibu Darma anak
priyayi, dia lumayan cantik, paling cantik dibanding seluruh gadis di
kampungnya dalam periode umurnya. Sempat-sempatnya Darma mencatat dia adalah
gadis tercantik nomor 2 di sekolahnya. Yang pertama ia tak ingin membicarakan di
sini.
Selepas sholat Isya biasanya Darma langsung pulang,
berhubung ia menemui malam minggu, biasanya ada acara lanjutan, entah main
tenis meja, benteng-bentengan di lapangan, atau permainan anak-anak yang asyik
agar tak pulang awal.
Darma melihat Elvira duduk-duduk di bangku
pinggir lapangan. Saat itu, lapangan yang biasa digunakan anak-anak bermain
menempel pada beranda masjid tepat di sebelah selatan. Suasana jingga dengan tatapan
lucu dan malu-malu khas anak yang sedang ingin mengenal satu sama lain. Dengan
tidak tahan akan deguban jantungnya, Darma memberanikan diri untuk menghampiri
seorang wanita beralis tebal dan berambut panjang didepannya. Kemudian ia pun
duduk disampingnya.
“Hay El,sedang apa?” Kata Darma sambil duduk
disampingnya.
“Iya mas, sedang baca buku” Balas Elvira
dengan nada yang malu-malu.
Hanya sedikit obrolan mereka berdua, sekadar
sapa dan basa-basi. Waktu pun mulai terasa gelap sehingga mereka harus pulang
kerumah masing-masing. Dengan langkah yang ragu dan malu-malu mereka berdua
berbalik arah untuk pulang.(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar